Rabu, 06 Januari 2010

Aturan-Aturan Permainan Ekonomi Islam

Aturan-Aturan Permainan Ekonomi Islam

Konsep Ekonomi Islam Allah telah menetapkan batas-batas tertentu terhadap perilaku manusia sehingga menguntungkan individu tanpa mengorbankan hak-hak individu lainnya. Perilaku mereka yang ditetapkan dalam Hukum Allah (Syari'ah) harus diawasi oleh masyarakat secar keseluruhan, berdasarkan aturan Islam.
Penjelasan

Yang kami maksud dengan istilah ini adalah perangkat perintah dan aturan sosial, politik, agama, moral dan hukum yang mengikat masyarakat. Lembaga-lembaga sosial disusun sedemikian rupa untuk mengarahkan individu-individu sehingga mereka secara baik melaksanakan aturan-aturan ini dan mengontrol serta mengawasi penampilan ini. Berlakunya aturan-aturan ini membentuk lingkungan di mana para individu melakukan kegiatan ekonomik mereka. Aturan-aturan itu sendiri bersumber pada kerangka konseptual masyarakat dalam hubungannya dengan Kekuatan Tertinggi (Tuhan), kehidupan, sesama manusia, dunia, sesama makhluk dan tujuan akhir manusia. Di sini hanya akan meneliti beberapa aturan "permainan" ekonomi Islam itu tanpa mendalami berbagai implikasi yang timbul daripadanya, karena (hal itu) berada di luar cakupan uraian ini.

1. Alam semesta, termasuk manusia, adalah milik Allah, yang memiliki kemahakuasaan (kedaulatan) sepenuhnya dan sempurna atas makhluk-makhluk-Nya. Manusia, tanpa diragukan, merupakan tatanan makhluk tertinggi diantara makhluk-makhluk yang telah dicipta-Nya, dan segala sesuatu yang ada di muka bumi dan di langit ditempatkan di bawah perintah manusia. Dia diberi hak untuk memanfaatkan semuanya ini sebagai khalîfah atau pengemban amanat Allah. Manusia diberi kekuasaan untuk melaksanakan tugas kekhalifahan (khilâfah) ini dan untuk mengambil keuntungan dan manfaat sebanyak-banyaknya sesuai dengan kemampuannya dari barang-barang ciptaan Allah ini.

2. Allah telah menetapkan batas-batas tertentu terhadap perilaku manusia sehingga menguntungkan individu tanpa mengorbankan hak-hak individu-individu lainnya. Dia telah menetapkan kewajiban-kewajiban tertentu terhadap manusia; penampilan (perilaku) mereka yang ditetapkan dalam Hukum Allah (Syari'ah) harus diawasi oleh masyarakat secara keseluruhan, berdasarkan aturan Islam hak-hak yang diterima oleh manusia dari Allah dalam kaitannya dengan persoalan-persoalan sosial merupakan kewajiban-kewajiban manusia terhadap umat Muslim.

3. Semua manusia tergantung pada Allah. Semakin ketat ketergantungan manusia kepada Allah maka dia semakin dicintai-Nya. Setiap orang secara pribadi bertanggung jawab atas pengembangan masyarakat dan atas lenyapnya kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi; individu ini pada akhirnya bertanggung jawab atas setiap kegagalan usaha masyarakat dalam bekerjasama dan melakukan kerja kolektif .

4. Status khalîfah atau pengemban amanat Allah itu berlaku umum bagi semua manusia; tidak ada hak istimewa bagi individu atau bangsa tertentu sejauh berkaitan dengan tugas kekhalifahan itu. Namun ini tidak berarti bahwa umat manusia selalu atau harus memiliki hak yang sama untuk mendapatkan keuntungan dari alam semesta itu. Mereka memiliki kesamaan hanya dalam kesempatannya, dan setiap individu bisa mendapatkan keuntungan itu sesuai dengan kemampuannya. Individu-individu dicipta (oleh Allah) dengan kemampuan yang berbeda-beda sehingga mereka secara instinktif diperintah untuk hidup bersama, bekerja bersama, dan saling memanfaatkan keterampilan mereka masing-masing. Namun demikian ini tidak berarti (bahwa Islam) memberikan superioritas (kelebihan) kepada majikan terhadap pekerjanya dalam kaitannya dengan harga dirinya sebagai manusia atau dengan statusnya dalam hukum. Hanya kadang-kadang saja bahwa pada saat tertentu seseorang menjadi majikan dan (pada saat lain) menjadi pekerja. Pada saat lain situasinya bisa berbalik dan mantan majikan bisa menjadi majikan, dan sebagainya; dan hal serupa juga bisa diterapkan terhadap budak dan majikan.

5. Individu-individu memiliki kesamaan dalam harga dirinya sebagai manusia. Tidak ada pembedaan bisa diterapkan atau dituntut berdasarkan warna kulit, ras, kebangsaan, agama, jenis kelamin atau umur. Hak-hak dan kewajiban-kewajiban ekonomik setiap individu disesuaikan dengan kemampuan-kemampuan yang dimilikinya dan dengan peranan-peranan normatif masing-masing dalam struktur sosial. Berdasarkan hal inilah beberapa perbedaan muncul antara orang-orang dewasa, di satu pihak, dan orang jompo atau remaja, di pihak lain, atau antara laki-laki dan perempuan. Kapan saja ada perbedaan-perbedaan seperti ini, maka hak-hak dan kewajiban-kewajiban mereka harus diatur sedemikian rupa sehingga tercipta keseimbangan.
Islam tidak mengakui adanya kelas-kelas sosio-ekonomik sebagai sesuatu yang bertentangan dengan prinsip persamaan maupun dengan prinsip persaudaraan (ukhuwwah). Kekuatan ekonomik dibedakan dengan kekuatan sosio-politik, antara lain, karena adanya fakta bahwa tujuan-tujuan besar dan banyak rinciannya ditekankan dalam Al-Qur'an dan Sunnah, dan karena dilestarikannya metode-metode yang digunakan oleh umat Muslim untuk menetapkan hukum mengenai hal-hal rinci yang tidak ditentukan sebelumnya.

6. Dalam Islam bekerja dinilai sebagai kebaikan dan kemalasan dinilai sebagai kejahatan. Dalam kepustakaan Islam modern orang bisa menemukan banyak uraian rinci mengenai hal ini. Al-Qur'an mengemukakan kepada Nabi dengan mengatakan: "... dan katakanlah (Muhammad kepada umat Muslim): Bekerjalah." Nabi juga diriwayatkan telah melarang pengemisan kecuali dalam keadaan kelaparan. Ibadat yang paling baik adalah bekerja, dan pada saat yang sama bekerja merupakan hak dan sekaligus kewajiban. Kewajiban masyarakat dan badan yang mewakilinya adalah menyediakan kesempatan-kesempatan kerja kepada para individu. Buruh yang bekerja secara manual dipuji dan Nabi SAW diriwayatkan pernah mencium tangan orang yang bekerja itu. Monastisisme dan asketisisme dilarang; Nabi SAW diriwayatkan pernah bersabda bahwa orang-orang yang menyediakan makanan dan keperluan-keperluan lain untuk dirinya (dan keluarganya) lebih baik daripada orang yang menghabiskan waktunya untuk beribadat tanpa mencoba berusaha mendapatkan penghasilan untuk menghidupinya sendiri. Sebagai konsekuensinya, menjadi imam shalat dan berkhutbah dalam Islam merupakan pekerjaan sukarela yang tidak perlu dibayar. Nabi SAW pernah memohon kepada Allah SWT untuk berlindung diri agar beliau, antara lain, tidak terjangkit penyakit lemah dan malas.

7. Kehidupan adalah proses dinamik menuju peningkatan. Ajaran-ajaran Islam memandang kehidupan manusia di dunia ini sebagai pacuan dengan waktu. Umur manusia sangat terbatas dan banyak sekali peningkatan yang harus dicapai dalam rentang waktu yang sangat terbatas ini. Kebaikan dan kesempurnaan sendiri merupakan tujuan-tujuan dalam proses ini. Nabi SAW diceritakan pernah menyuruh seorang penggali liang kubur untuk memperbaiki lubang yang dangkal di suatu kuburan meskipun hanya permukaannya saja. Beliau menetapkan aturan bahwa "Allah menyukai orang yang, bila dia melakukan sesuatu melakukannya dengan cara yang sangat baik."

8. Jangan membikin madarat (kesulitan) dan jangan ada madarat" adalah frasa yang senantiasa diucapkan oleh Nabi SAW. Frasa ini berarti "madarat yang direncanakan secara sadar dan dilakukan oleh seseorang untuk menyakiti, dan juga yang dilakukan sekedar untuk melukai. Fakta mengenai madarat yang menyakitkan seseorang perlu mendapatkan perhatian, baik yang disengaja oleh pelakunya untuk maksud tersebut maupun yang tidak dimaksudkan untuk tujuan tersebut. Madarat harus dilenyapkan tanpa mempertimbangkan niat yang melatarbelakanginya. Namun kita harus cukup realistik dalam mengamati bahwa menghilangkan "madarat" sama sekali dari kehidupan manusia adalah tidak mungkin. Madarat itu sendiri selalu tidak diharapkan. Namun bila hal itu merupakan syarat yang tidak dapat dielakkan adanya, maka ia bisa dibenarkan."

9. Suatu kebaikan dalam peringkat kecil secara jelas dirumuskan. Pelaksanaan kebaikan ini diawasi oleh lembaga-lembaga sosial yang pada akhirnya mewajibkannya dengan kekuatan hukum. Menurut Islam tidak cukup bila hanya mempercayakan kepada niat baik seseorang untuk melakukan, katakanlah, perbuatan-perbuatan santun (memberikan sadaqah). Sebaliknya, sebagian besar dari apa yang disebut santunan sukarela dalam masyarakat non-Muslim harus didukung oleh hukum dalam masyarakat Muslim. Setiap Muslim dihimbau oleh sistem etika (akhlak) Islam untuk bergerak melampaui peringkat minim dalam beramal salih. Mematuhi ajaran-ajaran Islam dalam semua aspeknya, oleh Islam dianggap sebagai sarana untuk mendapatkan ridla Allah.

Ada beberapa prinsip yang melandasi fungsi-fungsi pasar dalam masyarakat Muslim. Semua harga, baik yang terkait dengan faktor-faktor produksi maupun produknya sendiri bersumber pada mekanisme ini, dan karena itu diakui sebagai harga-harga yang adil atau wajar. Barangkali hal ini tidak sejalan dengan konsep "harga yang adil" menurut Siddîqî yang didasarkan atas ongkos produksi. Karena itu dalam kajian ini lebih baik digunakan istilah "harga yang sesuai," bukan "harga yang adil." Sebagai konsekuensinya, istilah yang kami gunakan ini lebih sesuai dengan berbagai tradisi dalam Hukum (Fiqh) Islam dan dapat mengekspresikan isi konseptual istilah tersebut secara lebih memuaskan. Pembahasan rinci mengenai "teori harga yang sesuai" dapat dibaca dalam, "The Economic Views of Ibn Taimiyyah."

Komentar yang kedua mengenai analisis terdahulu ialah bahwa mekanisme pasar dalam masyarakat Muslim tidak boleh dianggap sebagai struktur atomistik. Memang Islam tidak menghendaki adanya koalisi antara para penawar dan peminta, tetapi ia tidak mengesampingkan kemungkinan adanya akumulasi atau konsentrasi produksi selama tidak ada cara-cara yang tidak jujur digunakan dalam proses tersebut, dan kedua hal tersebut tidak melanggar prinsip-prinsip kebebasan dan kerjasama. Namun dalam prakteknya, adanya akumulasi dan atau konsentrasi harta itu bisa mengundang campur tangan pemerintah. Campur tangan ini bisa berbentuk pengambilalihan produksi yang dimonopoli (oleh perorangan atau perusahaan tertentu) atau pengawasan dan penetapan harga oleh pemerintah.

Yang ketiga dan terakhir adalah mengenai teori nilai. Dalam ekonomi Islam tidak ada sama sekali pemisahan antara manfaat normatif suatu mata dagangan dan nilai ekonomiknya. Dengan perkataan lain, semua yang dilarang digunakan tidak memiliki nilai ekonomik. Tentu saja karena minuman keras tidak bernilai sama sekali dalam masyarakat Muslim, maka semua penawaran yang ada harus dianggap tidak ada dan setiap usaha untuk memproduksi dan mendistribusikannya sama sekali dianggap sebagai pemborosan dalam pengertian ekonomik.

Metodologi Ekonomi Islam

Metodologi Ekonomi Islam

Konsep Ekonomi Islam Setiap sistem ekonomi pasti didasarkan atas ideologi yang memberikan landasan dan tujuannya, di satu pihak, dan aksioma-aksioma serta prinsip-prinsipnya, di lain pihak. Proses yang diikuti dengan seperangkat aksioma dan prinsip yang dimaksudkan untuk lebih mendekatkan tujuan sistem tersebut merupakan landasan sistem tersebut yang bisa diuji. Setiap sistem ekonomi membuat kerangka di mana suatu komunitas sosio-ekonomik dapat memanfaatkan sumber-sumber alam dan manusiawi untuk kepentingan produksi dan mendistribusikan hasil-hasil produksi ini untuk kepentingan konsumsi.
Penjelasan

Validitas sistem ekonomi dapat diuji dengan konsistensi internalnya, kesesuaiannya dengan berbagai sistem yang mengatur aspek-aspek kehidupan lainnya, dan kemungkinannya untuk berkembang dan tumbuh. Karena itu suatu sistem ekonomi tidak dapat diharapkan untuk menyiapkan, misalnya, komposisi khusus barang-barang ekspor di negara tertentu, fungsi produksi yang praktis bermanfaat atau secara matematik dapat dikelola, atau rumusan mengenai bagaimana memperbesar fungsi-fungsi tuntutan individual dalam tuntutan yang berskala nasional. Komponen-komponen teori ekonomi seperti itu tidak dapat diawali dengan sistem tersebut karena komponen-komponen itu timbul dalam aplikasi praktis sistem tersebut dalam tatanan berbagai kondisi yang ada. Dengan melihat kondisi-kondisi ini dan dalam kerangka sistem ekonomi yang berlakulah unsur-unsur teori ekonomi seperti bisa dikembangkan, diuji dan diteorisasikan.

Sebagai konsekuensinya suatu sistem untuk mendukung ekonomi Islam seharusnya diformulasikan berdasarkan pandangan Islam tentang kehidupan. Berbagai aksioma dan prinsip dalam sistem seperti itu seharusnya ditentukan secara pasti dan proses fungsionalisasinya seharusnya dijelaskan agar dapat menunjukkan kemurnian dan aplikabilitasnya. Namun demikian, perbedaan yang nyata, seharusnya ditarik antara sistem ekonomi Islam dan setiap tatanan yang bersumber padanya. Dalam literatur Islam mengenai ekonomi, sedikit perhatian sudah diberikan kepada masalah ini. Sebagai akibatnya, beberapa buku yang dikatakan membahas "sistem ekonomi Islam" sebenarnya hanya berbicara tentang latar belakang hukumnya saja, atau kadang-kadang disertai dengan beberapa prinsip ekonomi dalam Islam. Kajian mengenai prinsip-prinsip ekonomi itu hanya sedikit menyinggung mengenai kajian sisterm ekonomi, sama sebagaimana kajian terhadap tatabahasa yang hanya sedikit menyinggung pembentukan keterampilan berpidato saja

Selain itu, suatu pembedaan harus ditarik antara bagian dari Hukum (Fiqh) Islam yang membahas hukum dagang (Fiqhul-Mu'malat) dan ekonomi Islam. Bagian yang disebut pertama menetapkan kerangka di bidang hukum untuk kepentingan bagian yang disebut belakangan, sedangkan yang disebut belakangan mengkaji proses dan penanggulangan kegiatan manusia yang berkaitan dengan produksi, distribusi dan konsumsi dalam masyarakat Muslim Ekonomi Islam dibatasi oleh Hukum Dagang Islam, tetapi ini bukan satu-satunya pembatasan mengenai kajian ekonomi itu. Sistem sosial Islam dan aturan-aturan keagamaan mempunyai banyak pengaruh, atau bahkan lebih banyak, terhadap cakupan ekonomi dibandingkan dengan sistem hukumnya.

Tidak adanya pembedaan antara Fiqhul-Mu'amalat dan ekonomi Islam seperti itu merupakan sumber lain dari kesalahan konsep dalam literatur mengenai ekonomi Islam. Beberapa buah buku menggunakan alat-alat analisis fiqh dalam ekonomi, sedangkan buku-buku lain mengkaji ekonomi Islam dari sudut pandang fiqh. Sebagai contoh, teori konsumsi kadang-kadang berubah menjadi pernyataan kembali hukum Islam mengenai beberapa jenis makanan dan minuman, bukan kajian mengenai perilaku konsumen terhadap sejum1ah barang konsumsi yang tersedia, dan teori produksi diperkecil maknanya sebagai kajian tentang hak pemilikan dalam Islam yang tidak difokuskan pada perilaku perusahaan sebagai unit produktif.

Hal lain yang tidak menguntungkan dalam membahas ekonomi Islam dalam peristilahan Fiqhul-Mu'amalat adalah bahwa ancangan seperti itu, pada dasarnya, terpecah-pecah dan kehilangan keterkaitan menyeluruhnya dengan teori ekonomi. Barangkali hal inilah yang menjadi sebab tidak adanya teori moneter makroekonomik dalam semua literatur mengenai ekonomi Islam.

Kajian tentang sejarah sangat penting bagi ekonomi karena sejarah adalah laboratorium umat manusia. Ekonomi, sebagai salah satu ilmu sosial, perlu kembali kepada sejarah agar dapat melaksanakan eksperimen-eksperimennya dan menurunkan kecenderungan-kecenderungan jangka-jauh dalam berbagai ubahan ekonomiknya. Sejarah memberikan dua aspek utama kepada ekonomi, yaitu sejarah pemikiran ekonomi dan sejarah unit-unit ekonomi seperti individu-individu, badan-badan usaha dan ilmu ekonomi (itu sendiri).

Baru sedikit yang dilakukan untuk menampilkan sejarah pemikiran ekonomi Islam. Hal ini tidak menguntungkan karena sepanjang sejarah Islam para pemikir dan pemimpin politik muslim sudah mengembangkan gagasan-gagasan ekonomik mereka sedemikian rupa sehingga mengharuskan kita untuk menganggap mereka sebagai para pencetus ekonomi Islam yang sebenarnya. Penelitian diperlukan untuk menampilkan pemikiran ekonomi dari para pemikir besar Islam seperti Abu Yusuf (meninggal th. 182 H), Yahya bin Adam (meninggal th. 303 H), al-Gazali (meninggal tahun 505 H), Ibnu Rusyd (meninggal th. 595 H), al-'Izz bin 'Abd al-Salam (meninggal th. 660 H), al-Farabi (meninggal th. 339 H), Ibnu Taimiyyah (meninggal th. 728 H), al-Maqrizi (meninggal th. 845 H), Ibnu Khaldun (meninggal th. 808 H), dan banyak lainnya lagi.

Kajian tentang sejarah pemikiran ekonomi dalam Islam seperti itu akan membantu menemukan sumber-sumber pemikiran ekonomi Islam kontemporer, di satu pihak dan di pihak lain, akan memberi kemungkinan kepada kita untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai perjalanan pemikiran ekonomi Islam selama ini. Kedua-duanya akan memperkaya ekonomi Islam kontemporer dan membuka jangkauan lebih luas bagi konseptualisasi dan aplikasinya.

Kajian terhadap perkembangan historik ekonomi Islam itu merupakan ujian-ujian empirik yang diperlukan bagi setiap gagasan ekonomi. Ini memiliki arti sangat penting, terutama dalam bidang kebijakan ekonomi dan keuangan negara. Namun peringatan terhadap adanya dua bahaya perlu dikemukakan bila aspek historik Islam itu diteliti. Pertama, bahaya kejumbuhan antara teori dengan aplikasi-aplikasinya, dan kedua, pembatasan teori dengan sejarahnya. Bahaya pertama muncul ketika para pemikir ekonomi Muslim modem tidak membedakan secara jelas antara konsepsi Islam dan aplikasi-aplikasi historiknya.

Hal ini tampak sangat jelas dalam cakupan keuangan negara, karena hampir semua buku mengenai keuangan negara yang ada dalam perpustakaan Islam kontemporer menganggap sumber-sumber negara sebagai sumber-sumber yang ada pada masa negara Islam besar, sejak masa 'Umar bin Khattab sampai masa Harun al-Rasyid. Sedikit sekali perhatian diberikan kepada pengembangan teori tentang keuangan negara yang didasarkan atas Al-Qur'an dan Sunnah Nabi SAW. Hal ini tercermin dalam penampilan histori keuangan negara dalam Islam yang sedikit sekali memberikan ksempatan untuk menguji aplikabilitasnya pada saat sekarang karena karena adanya perubahan suasana di semua negara Islam.

Bahaya kedua muncul ketika para ahli ekonomi Islam menganggap pengalaman historik itu mengikat bagi kurun waktu sekarang. Hal ini tercermin dalam ketidakmampuan untuk mengancang Al-Qur'an dan Sunnah itu secara langsung, yang pada gilirannya menimbulkan teori ekonomi Islam yang hanya bersifat historik dan tidak bersifat ideologik.

Rancangan historik dalam kajian terhadap ekonomi Islam itu kadang-kadang diterapkan dalam kaitannya dengan masyarakat-masyarakat Muslim masa sekarang. Hal ini tercermin dalam ekonomi Islam yang hanya berbicara tentang harta dan penghasilan, konsumsi yang tidak semestinya dan sebagainya, bukan mengenai penanggulangan mekanisme makroekonomik dari sistem ekonomi Islam itu. Tidak diragukan bahwa beberapa persoalan di negara-negara Islam sekarang ternyata serius dan penting, dan bahwa persoalan-persoalan tersebut seharusnya dibahas dalam kerangka ekonomi Islam itu, namun bila sistem ekonomi Islam itu merupakan sistem yang pokok bahasannya, misalnya, nasionalisasi industri dan penataan pemilikan tanah (land reform), lantas apa yang akan terjadi setelah semuanya ini berhasil diraih? Apa yang bisa dilakukan oleh sistem seperti, katakanlah, untuk industri yang telah dirasionalisasi atau tanah yang (pemilikannya) telah ditata kembali itu?

Batas-batas antara sistem ekonomi Islam yang bisa diaplikasikan terhadap perekonomian yang sehat dengan pertumbuhan yang normal, di satu pihak, dan tindakan-tindakan darurat yang dapat diambil oleh para pejabat penanggungjawab bidang perekonomian untuk membahas masalah sementara seperti peran ketidakadilan dalam distribusi barang-barang, atau kemiskinan, di pihak lain, seharusnya diberi demarkasi (juga). Tanpa demarkasi seperti itu, ekonomi Islam akan menjadi kajian parsial terhadap gejala-gejala peralihan yang akan menimbulkan pemborosan setelah pembangunan negara-negara Islam itu, ini tidak berarti bahwa persoalan-persoalan seperti persoalan-persoalan pembangunan itu tidak boleh mendapatkan perhatian langsung dari para ahli ekonomi Islam itu, melainkan harus diartikan bahwa persoalan-persoalan ini harus ditanggulangi dalam kerangka teori umum ekonomi Islam yang mempertahankan relevansinya dengan semua tahap pembangunan ekonomi dan suasana politik.

Diversifikasi literatur Islam modem mengenai ekonomi timbul dari kesulitan inheren dalam jenis kajian ini. Sama sekali tidak ada "Teori Ekonomi Islam" yang tertulis dalam pengertiannya yang ketat. Selain itu, bahkan mungkin banyak orang berkeberatan dengan digunakannya istilah "Teori Ekonomi" itu dengan alasan bahwa bila suatu teori adalah penafsiran terhadap beberapa aspek realitas, berarti bisa terdapat banyak teori yang bernafaskan nilai-nilai filosofik Islam dalam penafsiran terhadap realitas ekonomi. Ketidakjelasan diantara kedua pandangan ini telah mendorong sejumlah penulis untuk menampilkan pandangan yang sangat sempit mengenai filsafat ekonomi Islam dan membingkainya dengan cara sangat terbatas yang tidak sesuai dengan implikasi-implikasi teoretik nilai-nilai filsafat ini. (Upaya pertama untuk menetapkan demarkasi batas-batas antara filsafat ekonomi dalam Islam dan teori-teori ekonomi dari para penulis bidang ekonomi dilakukan oleh as-Sadr pada tahun 1964. Dia diikuti oleh M.N. Siddiqi pada tahun 1971.

Kesulitan tipe kedua dihadapi tidak hanya oleh penelitian di bidang ekonomi Islam tetapi oleh semua kajian yang membahas berbagai aspek sosial Islam, ia muncul dari hakikat sumber-sumber hukum Islam itu sendiri. Al-Qur'an dan Sunnah Al-Qur'an merupakan firman (kalam) Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW, sebagai petunjuk bagi kehidupan perilaku manusia, Kitab Suci itu tidak tersusun dalam bagian dan bab, yang masing-masing membahas, kehidupan manusia seperti Hukum, Politik, Ekonomi dan sebagainya, dan juga tidak diberi judul-judul di dapat menemukan berbagai aplikasi dan aturan yang bersumber daripadanya. Kadang-kadang ia merupakan rincian yang tepat, misalnya, dalam kaitannya hukum waris. Dalam hal-hal lain ia hanya menyinggung pemecahan secara garis besar, yang menunjukkan bahwa seharusnya para 'ulama' dan pemikir Muslim dapat mengembangkan dan melengkapi rincian-rincian yang tidak berdasarkan prinsip-prinsip ini dan dengan memperhatikan situasi yang ada.

Mengancang dan mengembangkan teori-teori semacam itu adalah tugas para sarjana Muslim, dan hasil-hasil yang diperoleh dari upaya-upaya ini tidak dapat dikaitkan baik dengan Allah maupun dengan Al-Qur'an. Yang dapat dikemukakan mengenai hal ini bahwa ia adalah pandangan (sarjana-sarjana) Muslim tetapi bukan pandangan Islam, karena berbagai akibat dari situasi mereka terhadap teoretisasi tersebut tidak dapat diingkari. Selain itu mereka tidak memiliki otoritas untuk menafsirkannya.

Memang tidak ada seorang pun memiliki hak istimewa seperti itu. Sumber kedua, yaitu Sunnah, adalah pemahaman dan aplikasi Nabi terhadap Al-Qur'an. Kesulitan yang ditampilkan oleh sumber ini timbul dari kenyataan bahwa Nabi ketika itu, pada saat yang sama, adalah juga kepala negara. Karena itu sangat sulit untuk dibedakan antara sikap-sikapnya terhadap ajaran-ajaran Al-Qur'an yang bersifat permanen dan mengikat untuk selama-lamanya, dan terhadap aturan-aturan yang terkait dengan berbagai situasi di masa hayatnya, disamping kesulitan tersebut di atas. Upaya pertama yang dilakukan secara sungguh-sungguh untuk mengangkat rincian-rincian yang rumit megenai bidang ekonomi dari dalam Al-Qur'an dan Sunnah itu ke dalam teori dilakukan pada tahun 1964, lagi-lagi, oleh as-Sadr.

Pernyataan terakhir dalam bagian metodologi ini akan membahas alat-alat analisis. Literatur Islam yang ada sekarang nengenai ekonomi mempergunakan dua macam metode. Pertama adalah metode deduksi dan kedua metode pemikiran etrospektif. Metode pertama dikembangkan oleh para ahli hukum Islam, Fl-lqalta', dan sangat dikenal di kalangan mereka, diaplikasikan terhadap ekonomi Islam modern untuk menampilkan prinsip-prinsip sistem Islam dan kerangka hukumnya dengan berkonsultasi dengan sumber-sumber Islam, yaitu Al-Qur'an dan Sunnah. Metode kedua dipergunakan oleh banyak penulis Muslim kontemporer yang merasakan tekanan: kemiskinan dan keterbelakangan di dunia Islam dan berusaha mencari berbagai pemecahan terhadap persoalan-persoalan ekonomi umat Muslim dengan kembali kepada Al-Qur'an dan Sunnah untuk mencari dukungan atas pemecahan-pemecahan tersebut dan mengujinya dengan memperhatikan Petunjuk Tuhan.

Kajian dalam pembahasan ini mempergunakan kedua metode tersebut. Namun perlu disadari bahwa kedua metode ini pada dasarnya diaplikasikan dalam kajian terhadap aturan-aturan dan prinsip-prinsip sistem ekonomi Islam tetapi hanya sedikit bisa diaplikasikan dalam kajian terhadap makroekonomi dan keseimbangan umum dalam sistem ekonomi semacam itu, atau bahkan dalam kajian terhadap teori-teori konsumsi dan matematik tertentu. Karena itu kajian ini akan mengaplikasikan alat-alat analisis matematik yang dikenal dalam teori ekonomi modern kapan saja dirasa perlu atau dianggap bermanfaat. Memang sebenarnya metode yang digunakan para Fuqaha pun sebenarnya bersifat matematik dalam semangat dan kecenderungannya.

Antropologi

Antropologi

Antropologi adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari tentang budaya masyarakat suatu etnis tertentu. Antropologi lahir atau muncul berawal dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri fisik, adat istiadat, budaya yang berbeda dari apa yang dikenal di Eropa. Terbentuklah ilmu antropologi dengan melalui beberapa fase. Antropologi lebih memusatkan pada penduduk yang merupakan masyarakat tunggal, tunggal dalam arti kesatuan masyarakat yang tinggal daerah yang sama, antropologi mirip seperti sosiologi tetapi pada sosiologi lebih menitik beratkan pada masyarakat dan kehidupan sosialnya.

Antropologi berasal dari kata anthropos yang berarti "manusia", dan logos yang berarti ilmu. Antropologi mempelajari manusia sebagai makhluk biologis sekaligus makhluk sosial. Para ahli mendefinisikan antropologi sebagai berikut:

* William A. Haviland

Antropologi adalah studi tentang umat manusia, berusaha menyusun generalisasi yang bermanfaat tentang manusia dan perilakunya serta untuk memperoleh pengertian yang lengkap tentang keanekaragaman manusia.

* David Hunter

Antropologi adalah ilmu yang lahir dari keingintahuan yang tidak terbatas tentang umat manusia.

* Koentjaraningrat

Antropologi adalah ilmu yang mempelajari umat manusia pada umumnya dengan mempelajari aneka warna, bentuk fisik masyarakat serta kebudayaan yang dihasilkan.

Dari definisi tersebut, dapat disusun pengertian sederhana antropologi, yaitu sebuah ilmu yang mempelajari manusia dari segi keanekaragaman fisik serta kebudayaan (cara-cara berprilaku, tradisi-tradisi, nilai-nilai) yang dihasilkan sehingga setiap manusia yang satu dengan yang lainnya berbeda-beda.

Sejarah

Seperti halnya Sosiologi, Antropologi sebagai sebuah ilmu juga mengalami tahapan-tahapan dalam perkembangannya.

Koentjaraninggrat menyusun perkembangan ilmu Antropologi menjadi empat fase sebagai berikut:

Fase Pertama (Sebelum tahun 1800-an)

Sekitar abad ke-15-16, bangsa-bangsa di Eropa mulai berlomba-lomba untuk menjelajahi dunia. Mulai dari Afrika, Amerika, Asia, hingga ke Australia. Dalam penjelajahannya mereka banyak menemukan hal-hal baru. Mereka juga banyak menjumpai suku-suku yang asing bagi mereka. Kisah-kisah petualangan dan penemuan mereka kemudian mereka catat di buku harian ataupun jurnal perjalanan. Mereka mencatat segala sesuatu yang berhubungan dengan suku-suku asing tersebut. Mulai dari ciri-ciri fisik, kebudayaan, susunan masyarakat, atau bahasa dari suku tersebut. Bahan-bahan yang berisi tentang deskripsi suku asing tersebut kemudian dikenal dengan bahan etnogragfi atau deskripsi tentang bangsa-bangsa.

Bahan etnografi itu menarik perhatian pelajar-pelajar di Eropa. Kemudian, pada permulaan abad ke-19 perhatian bangsa Eropa terhadap bahan-bahan etnografi suku luar Eropa dari sudut pandang ilmiah, menjadi sangat besar. Karena itu, timbul usaha-usaha untuk mengintegrasikan seluruh himpunan bahan etnografi.

Fase Kedua (tahun 1800-an)

Pada fase ini, bahan-bahan etnografi tersebut telah disusun menjadi karangan-karangan berdasarkan cara berpikir evolusi masyarakat pada saat itu. masyarakat dan kebudayaan berevolusi secara perlahan-lahan dan dalam jangka waktu yang lama. Mereka menganggap bangsa-bangsa selain Eropa sebagai bangsa-bangsa primitif yang tertinggal, dan menganggap Eropa sebagai bangsa yang tinggi kebudayaannya

Pada fase ini, Antopologi bertujuan akademis, mereka mempelajari masyarakat dan kebudayaan primitif dengan maksud untuk memperoleh pemahaman tentang tingkat-tingkat sejarah penyebaran kebudayaan manusia.

Fase Ketiga (awal abad ke-20)

Pada fase ini, negara-negara di Eropa berlomba-lomba membangun koloni di benua lain seperti Asia, Amerika, Australia dan Afrika. Dalam rangka membangun koloni-koloni tersebut, muncul berbagai kendala seperti serangan dari bangsa asli, pemberontakan-pemberontakan, cuaca yang kurang cocok bagi bangsa Eropa serta hambatan-hambatan lain. Dalam menghadapinya, pemerintahan kolonial negara Eropa berusaha mencari-cari kelemahan suku asli untuk kemudian menaklukannya. Untuk itulah mereka mulai mempelajari bahan-bahan etnografi tentang suku-suku bangsa di luar Eropa, mempelajari kebudayaan dan kebiasaannya, untuk kepentingan pemerintah kolonial.



Pada fase ini, Antropologi berkembang secara pesat. Kebudayaan-kebudayaan suku bangsa asli yang di jajah bangsa Eropa, mulai hilang akibat terpengaruh kebudayaan bangsa Eropa.

Pada masa ini pula terjadi sebuah perang besar di Eropa, Perang Dunia II. Perang ini membawa banyak perubahan dalam kehidupan manusia dan membawa sebagian besar negara-negara di dunia kepada kehancuran total. Kehancuran itu menghasilkan kemiskinan, kesenjangan sosial, dan kesengsaraan yang tak berujung.

Namun pada saat itu juga, muncul semangat nasionalisme bangsa-bangsa yang dijajah Eropa untuk keluar dari belenggu penjajahan. Sebagian dari bangsa-bangsa tersebut berhasil mereka. Namun banyak masyarakatnya yang masih memendam dendam terhadap bangsa Eropa yang telah menjajah mereka selama bertahun-tahun.

Proses-proses perubahan tersebut menyebabkan perhatian ilmu antropologi tidak lagi ditujukan kepada penduduk pedesaan di luar Eropa, tetapi juga kepada suku bangsa di daerah pedalaman Eropa seperti suku bangsa Soami, Flam dan Lapp.

KAPAN HARUS MENGHUBUNGI DOKTER

KAPAN HARUS MENGHUBUNGI DOKTER

Oleh : Dr. Purnamawati S Pujiarto, SpAK, MMPed.

DEMAM:
Pada umumnya, demam tidak membahayakan, namun demikian, ada beberapa kondisi dimana orang tua harus waspada. Pada bayi misalnya, semakin muda usianya, orang tua harus harus semakin waspada. Tengok patokan umum di bawah ini;

pada bayi yang lebih tua (usia 6 bulan atau lebih), kita baru menghubungi dokter bila suhunya mendekati 40°C. Pada bayi yang lebih muda, dianjurkan untuk menghubungi dokter bila suhunya 38°C atau lebih.
. Bila bayi berusia < 3 bulan dengan suhu tubuh ³ 38°C
. Bila bayi berusia 3 - 6 bulan dengan suhu tubuh ³ 38.5°C
. Bayi dan anak berusia > 6 bulan, dengan suhu tubuh ³ 40°C

Selain tingginya suhu tubuh, dokter juga perlu dihubungi pada beberapa
kondisi berikut ini:
- Apabila kondisi anak memburuk
- Demam sudah berlangsung 72 jam
- Susah minum atau tidak mau minum atau sudah mengalami dehidrasi
- Rewel atau menangis terus menerus, tidak dapat ditenangkan
- Tidur terus menerus, lemas dan sulit dibangunkan (lethargic)
- Kejang atau kaku kuduk leher
- Sakit kepala hebat yang menetap
- Sesak napas
- Muntah, diare terus-menerus

SELESMA:
- Demam lebih dari 72 jam
- Batuk lebih dari satu minggu; atau batuk hebat dengan muntah-muntah.
- Rewel dan letargi
- Sesak napas atau tampak kebiruian sekitar bibir dan mulut
- Jarang buang air kecil (lihat dehidrasi) atau tidak mau minum
- Dahak ada darahnya
- "Ingus" hijau kental lebih dari 2 minggu

BATUK:
- Mengalami kesulitan bernapas atau bernapas dengan sekuat tenaga (otot-otot
pernapasan tambahan ikut dikerahkan sehingga tampak otot-otot di sela-sela
iga tertarik ke dalam, otot di atas belikat juga tertarik ke dalam, napas cuping hidung);
- Kebiruan di bibir, lidah atau wajah;
- Demam tinggi terutama bila tidak ada batuk pilek; sedangkan pada bayi
berusia kurang dari 3 bulan, dokter harus tetap dihubungi (tanpa memandang
tingginya demam);
- Bayi berusia £ 3 bulan yang terbatuk-batuk selama beberapa jam;
- Bila terdengar suara whooping saat bernapas sesudah terbatuk;
- Bila batuk ada darahnya (kecuali bila anak baru saja mengalami mimisan,
maka biasanya darah di batuknya tidak perlu dikhawatirkan);

DIARE:
- Popoknya tidak basah selama 8 jam, serta tanda-tanda dehidrasi yang sudah
dikemukakan di atas.
- Demam tinggi.
- Tinjanya berdarah.
- Mengantuk luar biasa, lemas, sulit dibangunkan.
- Bila anaknya mengalami diare kronis.

INFEKSI TELINGA:
Bawa anak ke dokter bila anda mencurigai adanya otitis media. Namun harap
diingat, dokter tidak otomatis akan memberikan antibiotika setiap kali
telinga anak terlihat merah.
- Bayi dan anak kecil berisiko untuk kerap terkena infeksi telinga
- Otitis media tidak selalu harus diobati dengan antibiotika
- Untuk beberapa lama (sampai dengan 3 bulan) sesudah otitis media, akan
terdapat cairan di rongga telinga tengah. Ini merupakan kondisi yang normal
dan tidak membutuhkan pengobatan apapun.

MUNTAH:
Muntah yang tidak disertai dengan gejala lain dan tidak berulang, biasanya
bukan hal yang perlu dikhawatirkan. Bawa segera anak ke rumah sakit bila:
- Muntah kehijauan.
- Sakit perut selama 6 jam.
- Bintik-bintik merah muda/keunguan yang tidak hilang saat ditekan.

Hubungi dokter bila anak menunjukkan gejala berikut:
- Bayi muntah-muntah selama 6 jam terakhir atau anak selama 12 jam
- Apabila bayi menunjukkan gejala dehidrasi (ubun-ubun besar cekung (bayi),
matanya cekung, bibir kering; buang air kecil sedikit dan berwarna lebih tua
dari biasanya; elastisitas kulit menurun.
- Tidak mau minum.
- Mengantuk luar biasa dan rewel.

KONDISI GAWAT DARURAT: KENALILAH

· Mengantuk luar biasa (drowsiness). Kesadaran agak menurun, kontak mata berkurang. Berbagai rangsangan (termasuk rangsangan suara) tidak menimbulkan respons dari pihak si anak

· Letargi atau penurunan aktivitas. Anak berbaring lunglai, kaki dan tangan jarang digerakkan. Anak juga tidak tertarik untuk terlibat dalam suatu kegiatan.
· Gangguan napas. Anak bernapas dengan cepat atau merintih saat bernapas, atau setiap kali menarik napas, otot-otot dada tertarik ke dalam.
· Tidak mau minum atau makan (poor feeding). Minum jauh lebih sedikit dari biasanya. Bayi tidak mau menetek atau meneteknya sangat jarang dan hisapannya lemah. Bayi non ASI hanya minum separuh dari kebutuhannya dalam 24 jam. Bayi juga samasekali menolak makan.
· Muntah menyemprot. Muntah ini tidak ada kaitannya dengan makan atau minum, tidak ada pula kaitannya dengan batuk. Muntah kuat terjadi secara tiba-tiba. Pikirkan kemungkinan adanya peningkatan tekanan di rongga kepala seperti yang biasa terjadi pada meningitis.
· Produksi urin berkurang atau dehidrasi berat. Anak buang air kecil kurang dari 4 kali dalam 24 jam (popoknya tetap kering selama 6 - 8 jam).
· Bayi tersedak (bayi tidak bisa bernapas, muka menjadi merah lalu biru).
· Diare terus menerus selama 12 jam terakhir. Muntah-muntah hebat.
· Kondisi lain yang juga perlu untuk dibawa ke unit layanan kesehatan adalah muntah berwana hijau, kejang berulang atau lama, demam tinggi (terutama demam pada bayiberusia kurang dari 6 bulan), hernia, rewel terus menerus dan sulit ditenangkan

Agar Anak Tetap Kreatif

Agar Anak Tetap Kreatif

Ada 3 ciri anak kreatif yang dominan :
1. Spontan
2. Rasa ingin tahu
3. Tertarik pada hal-hal yang baru

Dan ternyata ke 3 ciri-ciri tersebut terdapat pada diri anak. Berarti semua anak pada dasarnya adalah kreatiff, dan faktor lingkunganlah yang menjadikan anak tidak kreatif. Sedangkan kewajiban orang tua sebenarnya bukanlah mencetak, tetapi lebih pada mempertahankan agar anak tetap kreatif sebagaimana aslinya. Apakah kita sebagai orang tua mampu untuk mempertahankan kreatifitas anak ? ada beberapa pertanyaan yang dapat membantu kita untuk memahami sudah seberapa jauh kemampuan kita dalam hal ini :
a) Apakah kita menerima segala kelebihan dan kekurangan anak kita dan apakah kita mensugesti mereka bahwa mereka mampu atau sebaliknya ?
b)Apakah kita senantiasa menyadari bahwa setoap individu adalah unik dan setiap anak ada-lah otentik, tidak sama dan tidak akan dapat disamakan dengan anak lain ?
c)Apakah kita menyadari bahwa kreatifitas itu bersifat multi dimensional dan setoap anak memiliki kimensi kreatifitasnya sendiri-sendiri ?
d) Sudahkah kita mencoba mencari dan menelusuri sendiri minat-minat dan bakat-bakat apa yang dimiliki oleh anak-anak kita satu persatu ?
e) Apakah kita telah memberikan dorongan dan cukup menghargai gagasan-gagasan anak kita, atau sebaliknya ?
f) Sudahkah kita memberikan perhatian yang sungguh-sungguh terhadap apa-apa yang tengah dikerjakan oleh anak-anak kita, misalnya dengan ikut melakukan aktifitas bersama anak ?
g) Apakah kita senantiasa memper-kenalkan berbagai hal yang baru kepada anak-anak kita, atau justru sebaliknya (menyembunyikannya) ?
h) Apakah kita menghadapi anak-anak kita secara santai atau dengan penuh ketegangan ?
i) Sudahkan kita memberikan waktu, tempat, kemudahan dan bahan-bahan agar anak kita kreatif ?
j) Sudahkah kita memberikan anak-anak kita iklim dan pojok khusus untuk melakukan aktifitas mereka ?
k) Apakah selama ini kita menilai hasil kreasi anak kita atau kita lebih tertarik untuk memperhatikan prosesnya ?
l) Apakah selama ini kita menilai hasil kreasi anak dengan menggunakan perspektif kita atau dengan menggunakan perspektif anak ?
m)Apakah kita selama ini cukup terbuka terhadap gagasan dan kreasi anak yang tidak lumrah ?
n)Sudahkah kita memberi penguatan terhadap hasil kreasi anak atau justru melemahkannya ?

4 Kunci Mempertahankan Kreatifitas Anak

Membangun kepribadian anak dengan modal cinta
Dengan cinta maka orangtua dapat menerima anak apa adanya. Terlepas dari apakah orangtua melihat kelebihan anak ataukah tidak, terlepas dari apakah orangtua menyukai cacat (kelemahan) anak atau tidak. Tentu saja hal ini hanya mungkin bagi orangtua yang memiliki tanggungjawah. Orangtua yang baik tidak akan menuntut anaknya untuk sama dengan anak lainnya. Karena setiap individu adalah unik. Kita dapat membentuk kepribadian anak kita, tetapi bukan untuk menyamakan karakter mereka. Seperti kita lihat sahabat Umar ra, Abu Bakar ra dan sebagainya, mereka tidak memiliki karakter yang sama meskipun masing-masing mereka merupakan pribadi-pribadi yang islami. Keunikan mereka justru menjadian mereka ibarat bintang-bintang yang gemerlapan di langit, terangnya bintang yang satu tidak memudarkan terangnya bintang yang lain. Begitu pula halnya dengan kreatifitas, setoap sahabat adalah insan kreatif. Masing-masing mereka memiliki dimensi kreatifitas sendiri-sindiri. Salman Al-Farisi penggagas perang parit, Umar bin Khattab penggagas ketertiban lalu lintas, Abu Bakar Ash-Shiddiq penggagas tegaknya sistim ekonomi islam, Khalid bin Walid penggagas strategi perang moderen dan banyak lagi. Tinggal yang menjadi masalah sekarang adalah, kita para orangtua kurang bersungguh-sungguh untuk menemukan bakat-bakat dan minat-minat yang dimiliki oöeh anak. Seolah-olah kita para orangtua lebih suka anak kita menjadi fotokopi orang lain, ketimbang dia tumbuh sebagai suatu pribadi yang utuh. Kalau anak-anak Amerika dengan shibghah (celupan) individualis liberalis dapat mengatakan : I want to be me ! Mengapa anak-anak kita, anak muslim tidak dapat mengatakan : Ana Abdullah ( Saya abdi Allah) ! Kalau kepribadian menentukan kreativitas, maka seorang muslim pada hakekatnya memiliki potensi kreatif lebih besar dibandingkan ummat-ummat lainnya. Karena kepribadian islam tiada tandingannya.

Menumbuhkan dan Mengem-bangkan Motivasi
Kepribadian yang kuat biasanyaa memiliki motivasi yang kuat pula. Tapi karena kreatifitas itu dimulai dari suatu gagasan yang interaktif, maka dorongan dari luar juga diperlukan untuk memunculkan suatu gagasan. Dalam hal ini para orangtua banyak berperan. Dengan komunikasi dialogis dan kemampuan mendengar aktif maka anak akan merasa dipercaya, dihargaai, diperhatikan, dikasihi, didengarkan, dimengerti, didukung, dilibatkan dan diterima segala kelemahan dan keterbatasannya. Dengan ini anak akan memiliki dorongan yang kuat untuk secara berani dan lancar mengemukakan gagasan-gagasannya. Selain komunikasi dialogis dan mengdengar aktif, untuk memotivasi anak agar lebih kreatif, sudah seharusnya kita memberikan perhatian serius kepada aktifitas yang tengah dilakukan oleh anak kita. Seperti misalnya melakukan aktifitas bersama-sama mereka. Kalau kita biasa melakukan shoum dan shalat bersama anak-anak kita, mengapa untuk aktifitas yang lain kita tidak dapat melakukannya ? Bukanlah lebih mudah untuk mentransfer suatu kebiasaan yang sama ketimbang harus memulai suatu kebiasaan yang sama sekali baru ? Dengan demikian sesungguhnya seorang muslim memiliki peluang yang lebih besar untuk menjadikan anak-anak mereka kreatif. Tinggallah sekarang bagaimana kita sebagai orangtua muslim senantiasa berusaha untuk memperkenalkan anak-anak kita dengan berbagai hal dan sesuatu yang baru untuk memenuhi aspek kognitif mereka. Agar mereka lebih terdorong lagi untuk berpikir dan berbuat secara kreatif. Suatu hal yang perlu dicatat dalam memotivasi anak agar kreatif, lakukanlah serekreatif mungkin dan hindarilah kesan-kesan rekonstruktif.

Mensistimatisir Proses Pembentukan Anak Kreatif
Beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh orang tua dalam pembentukan anak kreatif adalah :
Pertama : Persiapan waktu, tempat, fasilitas dan bahan yang memadai. Mengenai waktu dapat berkisar antara 5- 30 menit setiap hari, sangat tergantung pada bentuk kreatifitas apa yang hendak dikembangkan. Begitu pula halnya dengan tempat, ada yang memerlukan tempat yang khusus dan ada pula yang dapat dilakukan di mana saja. Fasilitas tidak harus selalu canggih, tergantung sasaran apa yang hendak dicapai. Bahan pun tidak harus selalu baru, lebih sering justru menggunakan bahan-bahan sisa atau bekas.
Kedua : Mengatur selang seling kegiatan. Kegiatan diatur sedemikian rupa agar dalam melakukan aktifitas tersebut anak-anak terkadang melakukan aktivitas secara individual, tetapi adakalanya juga melakukan aktifitas secara kelompok. Terkadang anak-anak melakukan aktivitas secara kompetitif, terkadang juga secara kooperatif.
Ketiga : Menyediakan satu sudut khusus untuk anak dalam melakukan aktifitas Kita dapat menyediakan satu sudut di rumah untuk menghamparkan sajadah dan kemudian shalat diatasnya. Mengapa kita tidak dapat menyediakan sudut khusus untuk kreatifitas anak-anak kita ?
Keempat : Memelihara iklim kreatifitas agar tetap terpelihara Caranya dengan mengoptimalkan point-point yang telah disebutkan pada kunci no 2 untuk mempertahankan kreatifitas anak.

Mengevaluasi Hasil Kreativitas
Selama ini kita sering terjebak untuk menilai kreatifitas melalui hasil atau produk kreatifita. Padahal sesunggunya proses itu lebih penting ketimbang hasilnya. Pentingnya penilaian kita terhadap proses kreatifitas, bukan berarti kita tidak boleh menilai hasil kreatifitas itu sendiri. Penilaian tetap dilakukan, hanya saja ada satu hal yang harus kita perhatikan dalam menilai. Hendaknya kita menilai hasil kreatifitas tersebut dengan menggunakan perspektif anak dan bukan menggunakan perspektif kita sebagai orang tua. Kalau kita mendapati seorang anak berusia 3 tahun dan kemudian dia dapat menyebutkan angka dari 1 sampai 10 apakah kita akan mengatakan, “Ah, kalau cuma kaya’ begitu saya bisa !” Tentu saja satu hal yang tidak boleh dilupakan dalam mengevaluasi prosos dan hasil kreatifitas adalah “Open Mind” atau dengan “Pikiran yang terbuka”. Apalagi anak seringkali mengemukakan gagasannya atau menelurkan suatu hasil kreatifitas yang tidak lazim. Setiap kali kita mengevaluasi hasil tersebut, kita harus selalu memberikan dukungan dan juga penguatan. Dan begitu juga sebaliknya, jauhi celaan dan hukuman ... agar anak kita tetap kreatif.


Diambil dari http://mitglied.lycos.de/adjie

Jahe dan cabe sebagai terapi kanker

Jahe dan cabe sebagai terapi kanker

Kalbefarma - Jahe ternyata dapat digunakan untuk membunuh sel kanker ovarium sementara komponen yang terdapat pada cabe diduga dapat mengecilkan atau menyusutkan tumor pankreas, para ahli mengatakan dalam konfrensinya 4 April 2006 kemarin.

Hasil studi akhir-akhir ini sering menyebutkan bahwa banyak terdapat bukti berbagai makanan pedas bermanfaat untuk menghambat pertumbuhan kanker.

Mereka meneliti efektifitas jahe terhadap sel pasien penderita kanker, meskipun studi ini masih merupakan langkah pertama.

Dr. Rebecca Liu, seorang asisten profesor pada bidang obstetrics and gynecology di Universitas Michigan Comprehensive Cancer Center dan timnya melakukan tes terhadap bubuk jahe yang dilarutkan dan diberikan pada kultur sel kanker ovarium.

Jahe tersebut dapat membunuh sel kanker dengan 2 jalan, yaitu proses penghancuran yang dimanakan apoptosis dan autophagy yaitu proses pemakanan sel, dikatakan para ahli dalam pertemuan American Association for Cancer Research.

Banyak penderita kanker yang mengalami resistensi terhadap kemoterapi standart, dimana tindakan kemoterapi tersebut merupakan proses apoptosis, Liu menjelaskan.

Sedangkan jahe yang memiliki kemampuan memakan sel (autophagy) dapat membantu mereka yang mengalami resistensi terhadap kemoterapi.

Kanker ovarium membunuh 16.000 dari 22.000 wanita US yang didiagnosis menderita penyakit tersebut, dilaporkan American Cancer Society.

Jahe terbukti dapat mengontrol keadaan inflamasi, yang berhubungan dengan perkembangan sel kanker ovarium.

Dari hasil penelitian ternyata jahe dapat membunuh sel kanker sama atau lebih baik dibandingkan obat kemoterapi standart yang digunakan untuk terapi kanker ovarium, dikatakan Dr. Jennifer Rhode.

Penelitian kedua ditemukan pada capsaicin (cabe), pada percobaan hewan tikus yang diberikan cabe ternyata dapat mematikan sel kanker pankreas, dikatakan Sanjay Srivastava dari Universitas Pittsburgh School of Medicine.

Capsaicin membuat sel-sel kanker mati dan memiliki kemampuan memperkecil ukuran dari tumor.

Pada penelitian yang lainnya telah disebutkan bahwa capsaicin mermanfaat membunuh sel tumor prostat. Sementara terdapat studi lainnya yang menyebutkan bahwa kunyit yang sering digunakan untuk masak makanan khas India, memiliki kemampuan menghentikan penyebaran dari kanker paru dan kanker payudara pada tikus.

Namun penelitian tersebut masih terbatas pada hewan tikus, dan belum benar terbukti efeknya terhadap manusia.

Taken from : artikel-kesehatan.blogspot.com

Risiko kesehatan anak terhadap makanan jajanan

Risiko kesehatan anak terhadap makanan jajanan

Kalbefarma - Anak yang banyak makan makanan jajanan lebih berisiko menderita hipertensi, kadar kolesterol yang tinggi dan faktor risiko lain yang berhubungan dengan penyakit kardiovaskuler, hasil penelitian terbaru.

Bila saat ini belum tampak gejalanya, kemungkinannya akan tampak saat mereka usia dewasa, kata Karen Olson, seorang peneliti yang mempresentasikan hasil penelitiannya 14 November 2005 pada American Heart Association's Scientific Sessions 2005 di Dallas.

Dr. Lawrence Appel, seorang profesor pada Universitas Johns Hopkins Baltimore, menambahkan saat kita makan makanan jajanan, kita kehilangan kontrol nutrisi.

Namun makan makanan jajanan hanya sebagai salah satu gambaran saja, Appel mengatakan. Apabila kombinasi makanan yang setiap hari kita makan kurang baik, makanan yang berasal dari dalam ataupun dari luar rumah, secara jelas meningkatkan masalah kesehatan yang besar dimasa yang akan datang, menurutnya.

Orang dewasa dan anak-anak obesitas menjadi problem kesehatan masyarakat di US dan makin bertambah terutama di negara-negara berkembang.

Bukan berita baru bahwa obesitas berhubungan dengan gangguan kesehatan terbesar di US, kata Olson, seorang executive director pada Cardiovascular Research dan Educatio Foundation di Wausau, Wisc. Jika tidak segera diatasi, para ahli yakin hal ini akan segera mengalahkan tembakau yang merupakan penyebab utama kasus kematian di dunia.

Dilakukan penelitian secara acak terhadap 621 anak berusia 5, 8 dan 11 tahun, yang melibatkan data berat badan, tinggi badan, diet dan kebiasaan olahraga.

Mereka dibagi menjadi dua kelampok. yaitu mereka yang makan makanan jajanan empat kali atau lebih dalam satu minggu dan mereka yang makan makanan jajanan kurang dari empat kali dalam satu minggu.

Sebanyak 20% anak-anak mengatakan mereka jajan 4 kali atau lebih dalam satu minggu. Mereka yang berusia 13 tahun, 37% lebih sering makan makanan jajanan, hal ini diduga karena pada usia tersebut mereka sudah mampu untuk membeli makanan tanpa dibantu, kata Oslan.

Makanan jajanan umumnya mengandung tinggi zat tepung, gula, garam, lemak dan kolesterol, hal ini yang menyebabkan risiko tinggi terjadinya hipertensi, Diabetes mellitus ataupun penyakit lain yang berhubungan dengan penyakit jantung.

artikel-kesehatan.blogspot.com

CGI, IMF, dan Sistem Ekonomi Pancasila

CGI, IMF, dan Sistem Ekonomi Pancasila

Sistem Ekonomi Pancasila (SEP) merupakan sistem ekonomi yang digali dan dibangun dari nilai-nilai yang dianut dalam masyarakat Indonesia. Beberapa prinsip dasar yang ada dalam SEP tersebut antara lain berkaitan dengan prinsip kemanusiaan, nasionalisme ekonomi, demokrasi ekonomi yang diwujudkan dalam ekonomi kerakyatan, dan keadilan. Sebagaimana teori ekonomi Neoklasik yang dibangun atas dasar faham liberal dengan mengedepankan nilai individualisme dan kebebasan pasar (Mubyarto, 2002: 68), SEP juga dibangun atas dasar nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia, yang bisa berasal dari nlai-nilai agama, kebudayaan, adat-istiadat, atau norma-norma, yang membentuk perilaku ekonomi masyarakat Indonesia.

Dengan demikian dalam merumuskan SEP ini perlu dicari sumber-sumber yang menjadi “acuan tindak” dari masyarakat, yang antara lain bisa terefleksi dalam beragam peribahasa (pepatah) yang sarat dengan nilai-nilai dan pesan moral kehidupan di segala bidang, disamping dari kesenian (wayang, tari-tarian, lagu), petatah-petitih, ataupun dongeng. Peribahasa mengandung beragam makna, bisa berupa peringatan, prinsip dan sikap hidup, ajaran, nilai-nilai, ataupun etika, yang semuanya mengandung makna atau ajaran dan nilai yang disepakati masyarakat. Misalnya saja beberapa peribahasa yang hidup dan berkembang dalam masyarakat kita adalah: “Berakit-rakit kehulu berenang-renang ketepian – Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian” (ajaran untuk bekerja keras). Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing (ajaran tentang kebersamaan, pemerataan, dan keadilan), Kalah jadi abu, menang jadi arang (peringatan untuk hindari konflik), Ketika ada sama dimakan, waktu tak ada sama ditahan (sikap hidup yang berorientasi pada keadilan), Ada udang dibalik batu (ajaran untuk tidak bermaksud buruk), Air beriak tanda tak dalam (perilaku-ajaran). Atau peribahasa Barat, yang sesuai dengan nilai yang dianutnya, “A golden key open every door” (Dengan uang segala kesulitan dapat diatasi!).

Pandangan tentang utang

Jika dalam berperilaku ekonomi kita menggali dari nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat kita sendiri, maka sebenarnya sudah banyak peringatan untuk sejauh mungkin mengindari utang, atau tidak berutang secara berlebihan dan diluar kemampuan untuk membayar kembali. Oleh karena itu, mentalitas pengutang yang ditunjukkan oleh pemerintah, yang menggantungkan pada pinjaman luar negeri untuk mendukung anggaran pemerintah, merupakan penyimpangan sikap hidup dan nilai-nilai serta ajaran ekonomi yang mengakar dalam masyarakat. Pandangan hidup ekonomi ini bisa dilihat dari beragam pepatah (peribahasa), yang mengingatkan untuk berhati-hati dalam berutang.

Ajaran tentang utang-piutang dalam peribahasa ini, misalnya, mengatakan “Utang melilit pinggang” atau “Utang sebanyak gulu” yang mengandung nilai untuk tidak berlebihan dalam berutang. Pepatah lain “Besar pasak dari pada tiang” merupakan nilai-nilai yang menjadi acuan ekonomi masyarakat untuk hidup sesuai dengan kemampuannya dan tidak bersifat hedonistik, mengajarkan untuk tidak memaksakan diri dalam berkonsumsi jika itu pada akhirnya memberatkan. Hidup harus sesuai dengan batas-batas yang dimilikinya, dan tidak tergantung pada orang lain (kemandirian dan nasionalisme) Sebagai suatu norma (elemen dari sistem), “ajaran” yang terkandung dalam pepatah itu diakui sebagai kebenaran oleh masyarakat Indonesia. Ini tidak berarti bahwa utang itu tidak dibolehkan sama sekali, melainkan mengingatkan bahwa dalam berutang perlu dilihat kemampuan untuk membayar kembali, dan pengeluaran harus dikendalikan.

Dengan dasar falsafah hidup yang terkandung dalam peribahasa yang menjadi norma ekonomi tersebut dapat dinilai sejauh mana utang-utang luar negeri yang dibuat oleh masyarakat Indonesia (pemerintah dan swasta) saat ini sesuai dengan norma ekonomi kita. Nilai utang luar negeri yang totalnya mencapai US$141 milyar (lebih separo adalah utang pemerintah), jika dilihat dengan berbagai indikator makro yang ada, sudah menggambarkan penyimpangan dari prinsip-prinsip dasar dari perilaku yang sejalan dengan sistem ekonomi yang berkembang dalam masyarakat. Dengan melihat Debt-service ratio (DSR) atau Debt to GDP ratio (DGR) tergambar bahwa utang ini sudah melampaui kemampuan kita untuk membayar kembali. Misalnya, “konvensi” ahli ekonomi yang moderat, menyatakan bahwa DSR ini maksimal 25%. Namun DSR Indonesia saat ini sudah sekitar 50%.

Utang pemerintah ini dibuat bukan saja ketika Indonesia menghadapi masa sulit, melainkan juga ketika kita sedang “banjir uang dari minyak” (oil boom) di tahun 1970-an dan awal 1980-an. Pada waktu itu yang dilakukan pemerintah bukan menyimpan atau menabung sebagian dana minyak tersebut, sebagaimana yang dilakukan Arab Saudi dan negara-negara Timur Tengah lainnya, yang menyimpan dan menginvestasikan dananya di negara-negara Barat. Indonesia sebaliknya malah meningkatkan pinjamannya kepada IGGI (yang tahun 1992 berubah menjadi CGI) dengan “jaminan” penerimaan minyak yang besar. Akibatnya, ketika utang sudah mulai jatuh tempo, nila tukar rupiah merosot, dan penerimaan minyak semakin terbatas, Indonesia menghadapi kesulitan membayar kembali utangnya. Kita tejebak dalam fenomena “Gali lubang, tutup lubang”. Di samping itu, ketergantungan pada negara lain menjadi tinggi, dan kedaulatan ekonomi pun “tersandera” pada lembaga-lembaga keuangan internasonal.

Peringatan untuk menggali nilai-nilai SEP

Langkah pemerintah tersebut telah menyimpang dari nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, yang mengingatkan dan mengajarkan untuk “Sedia payung sebelum hujan” atau “Rajin pangkal pandai, hemat pangkal kaya”. Ketika terjadi oil boom, pemerintah seperti terlena dan lupa daratan. Kita lupa bahwa cadangan minyak kita terbatas, harga minyak berfluktuasi, dan ketergantungan penerimaan dari satu komoditi sangat membahayakan perekonomian. Ini sebagai akibat perilaku yang ingin cepat enak, cepat kaya. Padahal sikap demikian merupakan perilaku keliru, yang dalam pepatah lama sudah diingatkan “Baru hendak bertunas sudah dipetik, lama-lama matilah pokoknya” (Baru beruang sedikit sudah boros, akhirnya sengsara). Akibatnya, perekonomian dilanda krisis mendalam, khususnya sektor modern yang akhirnya berdampak pada sektor lainnya.

Kasus terbelenggunya kita pada utang, dan juga terperosoknya Indonesia dalam krisis ekonomi yang terjadi sekarang, merupakan “peringatan” kepada bangsa kita untuk menggali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, yakni nilai-nilai sistem Ekonomi Pancasila, dalam memecahkan masalah ekonomi yang dihadapi bangsa ini. Adalah menjadi tanggung jawab kita semua, terutama kalangan cerdik pandai, untuk melakukan kajian-kajian empirik dalam merumuskan nilai-nilai yang membentuk perilaku ekonomi orang Indonesia.

Bagaimanakah selanjutnya kita menyikapi utang luar negeri ini, yang diberikan oleh negara-negara dan lembaga internasional anggota CGI? Sikap pemerintah yang mulai “menurunkan” besaran komitmen utang luar negeri yang dibuat sudah merupakan kebijakan yang tepat, walaupun nilai penurunannya masih relatif kecil yang hanya “mengimbangi” nilai bunga dan cicilan utang yang dijadwalkan kembali. Untuk mengurangi ketergantungan dan beban generasi masa akan datang, sudah selayaknya ada penjadwalan yang jelas tentang kapan kita harus berhenti berutang. Pemerintah sebaiknya mengoptimalkan komitmen pinjaman yang sudah dibuat sebelumnya, yang sampai saat ini banyak yang belum bisa dimanfaatkan sepenuhnya. Misalnya tahun lalu, sekitar 25% komitmen pinjaman dari CGI tidak bisa ditarik, baik karena ketidaksiapan program yang didanai maupun karena counterpart fund yang tidak memadai. Akibatnya Indonesia harus membayar commitment fee yang besarnya 0,75% dari nilai pinjaman yang tidak ditarik tersebut.

Pemutusan Kontrak dengan IMF

Dalam kaitan dengan IMF, juga mendesak bagi pemerintah untuk segera menghentikan kontrak dngan lembaga internasional tersebut, walaupun sebenarnya juga sudah terlambat. “Jeratan” IMF pada kendali kebijakan perekonomian Indonesia, sehingga menurunkan kedaulatan nasional ekonomi kita, sudah berjalan sangat lama dengan hasil yang minimal, menelan biaya sosial-ekonomi yang mahal. Tetangga kita yang sama-sama mengalami krisis, Korea Selatan dan Thailand, hanya kurang dari dua tahun sudah melepaskan diri dari IMF. Bahkan, Malaysia pada awal krisis secara tegas menolak untuk dibantu IMF. Mereka tidak ingin dibantu atau berlama-lama berada di “tangan” IMF, karena tak ingin kedaulatan ekonominya dikendalikan lembaga internasional tersebut. Mereka tak ingin nasionalisme ekonominya “digadaikan” dengan hasil yang belum jelas. Sayangnya Indonesia, yang dalam sistem ekonominya yang ber-Pancasila mensyaratkan nasionalisme ekonomi, justru terjebak dalam tangan IMF, dan ternyata juga gagal memulihkan ekonomi nasional.

Jika kita mengatakan IMF gagal membantu pemulihan ekonomi Indonesia, ini bukanlah sesuatu yang mengejutkan. Karena sejauh ini peran IMF dengan filosofi yang dipegangnya tak selalu cocok untuk negara berkembang. Kebijakan-kebijakan IMF yang meliberalkan perekonomian dengan membuka pasar barang dan modal seluas-luasnya, sistem kurs bebas, mengetatkan APBN, menjual BUMN, dan membatasi intervensi pemerintah, tidak jarang justru bersifat kontra produktif bagi perbaikan ekonomi negara berkembang. Tak kurang dari Joseph E. Stiglitz, ekonom dunia terkemuka peraih nobel tahun 2001, menohok IMF yang dikatakannya dengan ahli ekonom “kelas tiga” ingin mengatur negara-negara yang sangat komplek permasalahan ekonominya. Hasilnya, menurut Stiglitz dalam “Globalization and Its Discontents” , justru mendorong penyebaran resesi ekonomi dari satu negara ke negara lain, menyulitkan kaum miskin karena IMF sangat berorientasi pada kepentingan elit para kreditor, menimbulkan pengangguran, dan sebagainya.

Kritik Stiglitz pada IMF tersebut tampak jelas dalam ekonomi Indonesia saat ini. Sebagai syarat bantuan IMF (yang pada awalnya saja ada 130 prasyarat), anggaran diketatkan dan defisit ditekan yang akhirnya menuai kelambanan pertumbuhan ekonomi dan meningkatnya pengangguran, penjualan BUMN secara obral dan jatuh ke tangan asing, hapusnya segala bentuk subsidi dalam tempo singkat dengan konsekuensi merosotnya daya beli masyarakat, terus meningkatnya penduduk miskin, dan sebagainya. Kita terpaksa mengikuti pandangan IMF karena itulah syarat dari pinjaman yang diberikan. Namun demikian harus diakui IMF cukup membantu mengatasi persoalan jangka pendek, seperti gejolak nilai tukar rupiah. Dalam hal ini, dana dan figur IMF cukup membantu mengatasi gejolak kurs dan mempersuasi pelaku ekonomi untuk tetap berusaha di tanah air.

Oleh karena itu, bagaimanapun juga mundurnya IMF kelak tetap perlu disikapi dan diwaspadai kemungkinan dampak negatif yang muncul. Birokrasi ekonomi kita selama lima tahun didukung secara ketat oleh IMF dan kemudian dilepas, sehingga yang terjadi bagaikan “anak yang ditinggal pergi” orang tuanya. Akibatnya mengalami shock karena kehilangan penuntun dan belum siap mandiri. Ini pula yang bisa terjadi dengan penyusun dan pelaksana kebijakan ekonomi nasional. Namun demikian inilah proses pendewasaan yang harus dihadapi perencana dan pelaksana kebijakan ekonomi Indonesia. Karenanya aspek-aspek makro ekonomi seperti berkaitan dengan efisiensi pemanfatan utang luar negeri, masuknya modal asing, peningkatan ekspor, pengendalian impor, penghematan anggaran khususnya yang menggunakan devisa, dan mencegah terjadinya capital outflow. Kebijakan yang berkaitan dengan mengundang masuk dana dari luar negeri dan menghemat keluarnya devisa merupakan langkah yang diharapkan bisa mengkompensasi dana yang tak lagi mengucur dari IMF.

Sumber: http://www.ekonomirakyat.org/edisi_16/artikel_4.htm

Tips Merakit PC

Tips Merakit PC

Berikut tips untuk membeli / merakit pc 2007, karna trend nya teknologi tahun ini sudah berbeda dengan teknologi tahun tahun sebelumnya, komponen komputer saat ini sangat cepat mengalami perubahan jadi kalaupun kita membeli motherboard superior untuk komputer rakitan kita di tahun 07 ini, mungkin akan menyesal nanti kalau era multicore akan masuk ke kancah prosesor, dan kita akan kesulitan untuk mengupgrade pc tersebut, kalau zaman dulu, era processor masih menggunakan die yang sama, ngga banyak berubah, soket 370 dan soket A nya AMD masih menjadi hal yang terus terngiang, namun sekarang, soket 745 keluar, baru sebentar keluar lagi soket 933 AMD, begitu juga intel, mengalami perubahan soket dalam kurun waktu yang sangat singkat, mulai dari soket 478, sampai sekarang ke soket LGA 775/Socket M sehingga untuk mengatasi ini kita tidak bisa berkutat untuk berharap dapat mengupgrade processor dalam tingkat generasi yang berbeda dengan soket yang sama, kemungkinanya kecil sekali.

Membeli pc tahun 2007 ini akan lebih memfokuskan ke Komponen pendukung, bukan motherboard lagi, dahulu mungkin kita beli motherboard tercanggih dan harga yang sangat tinggi berharap dapat mengupgrade processor, disk, memory grafis dan lainya di waktu depan, sekarang mungkin sudah tidak bisa seperti itu lagi.

Hal hal yang harus di perhatikan untuk membeli pc di tahun 2007 ini adalah:

1. Pilihlah komponen motherboard yang memiliki kapasitas memory yang besar, 2GB, 6GB atau lainya, dengan jumlah slot yang cukup memadai, hal ini perlu diperhatikan, karna untuk menyokong aplikasi aplikasi multicore, pasti membutuhkan banyak resource memory, sehingga, ketersediaanya slot untuk upgrade memory akan menjadikan jalan yang baik untuk waktu ke depanya.
2. Pilihlah soket processor terkini, baik itu untuk AMD (AM2) atau Intel (775), karna inilah latest soket yang ada disaat ini, dan setidaknya kita memiliki tenggang waktu untuk upgrade ke processor yang masih dalam generasinya.
3. Belilah Media penyimpanan yang lebih besar, 80GB sudah tidak memadai untuk saat ini, mulai lah dari angka 200GB, hal ini sangat penting, karena berbagai macam jenis aplikasi, game, dan file, akan memakan space yang cukup signifikan, disk 200GB tersebut dapat di partial kan, artinya kita memisahkan sistem dan disk data, misanya 80GB dan 120GB, dimana yang 80GB di pecah menjadi 2 harddisk yang akan di set Raid 0 untuk memaksimalkan kecepatan disk nya, atau kita bisa pakai hdd SAS (serial attach SCSI) terbaru,salah satu samplenya ini http://www.dailytech.com/article.aspx?newsid=5098 dan ternyata harddisk cepat yang hanya berukuran 2,5″ ini bisa mencapai 10K Rpm, dan keuntungan lainya SAS ini memiliki backward kompabilitas dengan interface SATA, hayoo, mari menghayal menggunakan disk ini sambil di RAID 0, brr gimana rasanya yah. mengenai SAS nya bisa mampir kesini. http://en.wikipedia.org/wiki/Serial_Attached_SCSI (kalau punya budget lebih)
4. Sudah saatnya untuk dual core, Mulailah untuk memilih processor dual core, Bisa X2 AMD, atau DuoCore Windows, tidak perlu membeli processor yang latest, sesuaikan saja dengan budget.
5. Gunakan LCD, sudah lupakan dengan teknologi CRT, LCD adalah sebuah teknologi hemat, memang kalau dari sisi harga CRT lebih murah dibandingkan LCD, tapi pernah kah kita menghitung cost listrik yang di habiskan tiap bulanya dengan menggunakan CRT dibandingkan LCD ?
6. Sediakan Graphics Card Yang memadai dengan budget, saran saya tidak perlu menggunakan graphic card yang extreme ( kecuali kalau kita seorang gamers ), spesifikasi graphic card yang kita butuhkan hanyalah graphic card yang mendukung directX9C, itu saja, sisanya tergantung kemampuan budget.
7. Prepared for Vista, karna suatu saat, kita pasti akan menggunakan OS ini, baik itu Ori, ataupun Bajakanya.

Semoga tips ini bisa bermanfaat, dan, happy Ngerakit….

ilmukomputer.com

BLBI dan Hukum yang Bungkam

Penyimpangan atau korupsi dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) telah menunjukkan kepada kita ongkos korupsi masa lalu yang harus ditanggung seluruh rakyat Indonesia. Rakyat jadi korban karena efek berkepanjangannya dalam bentuk pengembalian utang. Sementara para penjahat diampuni dan tetap dapat 'bertengger' dengan leluasa di atas pundi-pundi uang yang dicuri.

Harus diakui penyimpangan dana BLBI merupakan kasus korupsi terbesar yang pernah terjadi di negeri ini. Fakta ini bisa dilihat dari hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Dari Rp 144,5 triliun dana BLBI yang dikucurkan kepada 48 bank umum nasional, Rp 138,4 triliun dinyatakan berpotensi merugikan negara.

Dana-dana tersebut kurang jelas penggunaannya. Juga terdapat penyimpangan dalam penyaluran maupun penggunaan dana BLBI yang dilakukan pemegang saham, baik secara langsung atau tidak langsung melalui grup bank tersebut. Sedangkan hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) terhadap 42 bank penerima BLBI menemukan penyimpangan sebesar Rp 54,5 triliun. Sebanyak Rp 53,4 triliun merupakan penyimpangan berindikasi korupsi dan tindak pidana perbankan.

Upaya menyeret para pelaku korupsi dana BLBI sampai saat ini masih terbentur kendala penegakan hukum. Seolah hukum bungkam dan tidak bertaring menghadapi para 'konglomerat hitam'. Untuk penanganan kasus ini, Kejaksaan Agung tidak menunjukkan kemajuan signifikan dari tahun ke tahun.

Mengecewakan
Dalam catatan ICW, hingga akhir tahun 2005, sudah 60 orang diperiksa. Tapi baru 16 orang yang diproses ke pengadilan, enam tersangka masih dalam proses penyidikan, dan 26 orang lainnya masih dalam proses penyelidikan. Meskipun 16 orang sudah dibawa ke pengadilan, namun hasil yang dicapai secara keseluruhan sangat mengecewakan. Tiga tersangka dibebaskan oleh pengadilan.

Dari 13 tersangka yang telah divonis penjara oleh hakim di tingkat pertama, banding, atau kasasi, hanya Hendrawan Haryono --terpidana kasus korupsi BLBI Aspac-- yang berhasil dijebloskan ke penjara. Dua terdakwa lainnya tidak langsung masuk ke bui. Dan yang paling menyedihkan adalah sembilan terdakwa melarikan diri ke luar negeri setelah dinyatakan bersalah dan divonis penjara oleh hakim pengadilan.

Buruknya penanganan kasus BLBI diperparah dengan kebijakan Jaksa Agung --saat masih dijabat MA Rachman-- yang menghentikan proses penyidikan (SP3) terhadap 10 tersangka korupsi BLBI pada tahun 2004. Alasannya adalah Surat Keterangan Lunas (SKL) yang dikeluarkan BPPN berdasarkan Inpres No 8/2002. Inpres tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum Kepada Debitur Yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya Atau Tindakan Hukum Kepada Debitur Yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham, lebih dikenal dengan Inpres tentang release and discharge.

Berdasarkan Inpres ini, para debitur BLBI dianggap sudah menyelesaikan utangnya, walaupun hanya 30 persen dari jumlah kewajiban pemegang saham (JKPS) dalam bentuk tunai dan 70 persen dibayar dengan sertifikat bukti hak kepada BPPN. Atas dasar bukti ini, mereka yang diperiksa dalam proses penyidikan akan mendapat SP3. Dan apabila kasusnya dalam proses di pengadilan, maka akan dijadikan novum atau bukti baru yang akan menjadi dasar dibebaskannya para terdakwa.

Hingga saat ini tercatat beberapa nama konglomerat papan atas seperti Sjamsul Nursalim, The Nin King, dan Bob Hasan yang telah mendapatkan SKL dan sekaligus release and discharge dari pemerintah. Padahal, Inpres No 8/2002 yang menjadi dasar Kejaksaan mengeluarkan SP3 itu bertentangan dengan sejumlah aturan hukum seperti UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 4 UU itu secara tegas menyebutkan bahwa ''Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana.''

Dengan demikian, jelas bahwa pengembalian aset atau utang sejumlah tersangka korupsi kepada negara, tidak serta-merta menghapuskan proses tindak pidana korupsi yang dilakukannya. Seharusnya, pihak Kejaksaan Agung tetap memproses para tersangka yang terlibat kasus BLBI hingga tahap penuntutan di pengadilan.

Atas pertimbangan tersebut, ICW bersama beberapa LSM dan tokoh masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Tolak Pengampunan Konglomerat Pengemplang Utang, pada 27 Mei 2003 mengajukan permohonan ke Mahkamah Agung untuk melakukan uji material (judicial review) atas Inpres tersebut. Dalam gugatannya Koalisi menuntut Inpres itu dicabut karena telah melanggar dan/atau bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku. Sayangnya, hingga saat ini, atau lebih dari tiga tahun, MA belum juga mengeluarkan putusan terhadap gugatan tersebut.

Ironi
Setelah pergantian pemerintahan dari Megawati Soekarnoputri kepada Susilo Bambang Yudhoyono, tampaknya kebijakan mengenai penyelesaian kasus BLBI tidak mengalami perubahan. Pemerintah masih bersikap kompromistis terhadap para debitur BLBI dan lebih memprioritaskan pengembalian keuangan negara daripada penegakan hukumnya. Ironisnya pemerintah seringkali memperlakukan para konglomerat yang telah dinilai telah merugikan keuangan negara itu secara istimewa.

Perlakuan istimewa itu ditunjukkan dengan kedatangan tiga debitur BLBI ke Kantor Presiden pada 6 Februari lalu. Tiga debitur itu adalah Ulung Bursa, pemegang saham Bank Lautan Berlian; James Januardi, pemegang saham Bank Namura; serta Lukman Astanto yang mewakili Atang Latief, pemegang saham Bank BIRA. Tidak tanggung-tanggung, kedatangan tiga debitur BLBI didampingi dua perwira Polri, yaitu Wakil Kebareskrim Mabes Polri, Irjen Gorries Mere, dan Direktur Reserse Ekonomi Mabes Polri, Kombes Besar Benny Mamoto.

Di Istana, ketiga debitur tersebut menyatakan bersedia mengembalikan utang BLBI yang nilainya ratusan milyar rupiah asalkan mendapatkan kepastian hukum atau release and discharge. Di luar persoalan politis, bisa jadi sikap kompromistis pemerintah terhadap debitur BLBI didasarkan pengalaman kegagalan BPPN sebelum dibubarkan dalam penyelesaian kasus korupsi BLBI melalui proses hukum, baik perdata maupun pidana.

Mekanisme yang dimungkinkan secara perdata seperti penyitaan, menggugat ke pengadilan, atau melakukan paksa badan (gijzeling/penyanderaan) terhadap debitur yang membandel membayar utang atau tidak mau menyerahkan asetnya. Upaya itu seringkali mengalami kegagalan dan justru mendapat perlawanan, bahkan tidak sedikit yang kalah di pengadilan.

Sedangkan ketika diproses secara pidana seperti yang diuraikan sebelumnya, hasilnya jauh dari memuaskan. Bahkan tidak memberikan efek jera, karena pelakunya divonis ringan. Jikapun divonis berat, kenyataannya banyak yang melarikan diri keluar negeri. Akibat mandulnya penyelesaian kasus korupsi BLBI, tidak berlebihan jika kita menyimpulkan bahwa penegakan hukum berhenti di kasus BLBI.
Oleh: Emerson Yuntho, Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW)

Sumber: Republika Online

Senin, 04 Januari 2010

Pornografi: Soal Etika, Bukan Estetika

Pornografi: Soal Etika, Bukan Estetika


BENARKAH penerbitan foto-foto pamer aurat sejumlah artis model yang dikritik dan diprotes masyarakat itu pornografi? Tidak benar, bantah yang diprotes dan para pendukungnya. Para artis model yang menyediakan tubuhnya dipotret, juru fotonya, yang menerbitkan foto-foto itu, yang mendukung penerbitannya, semua mengklaim, gambar-gambar itu karya seni. Apa Anda tidak menangkap keindahan pada tubuh terbuka dengan pose mana-suka itu berkat kreativitas pencahayaan dan pencetakan yang canggih?

Para pornokrat itu juga membela dari sudut kebebasan pers. Perintah instansi kepolisian menarik peredaran majalah yang memuat foto-foto yang dipersoalkan masyarakat dianggap sebagai pelanggaran langsung atas prinsip kebebasan pers. Sejumlah orang pers sendiri mendukung anggapan terakhir ini. Argumen-argumen membela penerbitan pornografi itu umumnya lemah, namun prinsipial karena menggunakan alasan estetika dan kebebasan pers.

Estetika modernis

Sebenarnya tak ada yang baru dalam kontroversi sekitar pornografi - dari kata Yunani porne artinya 'wanita jalang' dan graphos artinya gambar atau tulisan. Sudah dapat diduga bahwa masyarakat dari berbagai kalangan akan bereaksi terhadap penerbitan gambar-gambar yang dianggap melampaui ambang rasa kesenonohan mereka. Seperti biasanya pula, menghadapi reaksi masyarakat itu, para pornokrat membela dengan menuntut definisi, apa yang seni dan apa yang pornografi? Akan tetapi apa yang membedakan foto-foto buka aurat para artis model itu dengan lukisan perempuan telanjang. Affandi misalnya? Mengapa lukisan Affandi (misalnya Telanjang/ 1947 dan Telanjang dan Dua Kucing/1952) dianggap karya seni, sedang foto-foto pose panas Sophia Latjuba dan kawan-kawan dianggap pornografi? Padahal dibandingkan lukisan perempuan telanjang Affandi yang tubuhnya tampak depan tanpa terlindung sehelai benang pun, foto-foto menantang para artis itu tidak secara langsung memperlihatkan lokasi-lokasi vital-strategisnya!

Dari dalam teori estetika, teori tradisional "standar" akan menjawab, perbedaannya terletak dalam cara bagaimana sosok perempuan dengan ketelanjangannya itu diperlakukan atau ditangkap. Kata kuncinya di sini adalah apa yang disebut "pengalaman estetik" yang dirumuskan dalam 3-D: disinterestedness (tak berpamrih), detachment (tak terserap), distance (berjarak - secara emosional). Melihat keindahan, misalnya karya Affandi contoh kita atau ciptaan alam, orang akan mendapat pengalaman estetik, pengalaman yang tak berpamrih apa-apa, tak terserap oleh obyek yang dihadapi, dan secara emosional tetap berjarak. Yang sebaliknya terjadi apabila orang melihat gambar-gambar erotis atau pornografi. Foto-foto erotik dan pornografi itu mengundang pamrih, membuat orang terlibat dan terserap.

Dalam bahasa teori, lukisan perempuan telanjang Affandi menampilkan nilai intrinsik, dan merupakan tujuan pada dirinya sendiri, lukisan Affandi membangun situasi kontemplatif pada peminatnya. Sebaliknya foto-foto panas pada artis model itu menampilkan nilai ekstrinsik, bertujuan lain di luar dirinya (promosi, meningkatkan penjualan, membangkitkan syahwat, kekerasan seksual); foto-foto panas para artis model itu membangun situasi pragmatik untuk bertindak "strategis" (menguasai, merayu, memaksa, dan seterusnya). Pernyataan pengasuh salah satu penerbitan itu "Kami punya segmen pasar sendiri", sudah menjelaskan ini.

Apakah lukisan perempuan telanjang Affandi tidak mungkin membangkitkan birahi yang melihatnya? Tentu saja mungkin dan bisa. Apabila itu terjadi, atau lukisan Affandi itu gagal sebagai karya seni, atau penonton itu sendiri belum cukup memiliki kesiapan, pengalaman, apresiasi, dan seterusnya untuk memperoleh pengalaman estetik dari melihat lukisan tersebut.

Disamping itu, sebagai karya representasional, seni lukis itu unik, sedang foto-foto perempuan model itu tidak unik. Orang dapat mencetak foto-foto para model itu seberapa pun banyaknya dengan mutu persis sama, tetapi mustahil menduplikasi lukisan telanjang Affandi tanpa kehilangan segala kualitas yang ada pada lukisan aslinya. Pada yang kedua perbanyakan bisa tetap dengan produksi, tetapi pada yang pertama perbanyakan hanya pada tingkat reproduksi. Namun seperti sudah disebutkan, itu adalah faham teori estetika standar dominan, yang kini disebut juga teori modernis. Sejak awal 1970-an faham estetika modernis itu sudah mendapat tantangan kuat dari aliran yang disebut post-modern (posmo) yang menolak pandangan estetika modernis itu.

Teori modernis, sebagai bagian dari pandangan filsafat kemajuan (progress) abad 19 yang menganggap sejarah sebagai proses kemajuan yang berlangsung linier, percaya pada peran besar seni dan seniman dalam yang disebutnya kemajuan sosial. Teori modernis dapat dianggap mencakup seni borjuis dan estetisme, dua tipologi terakhir dari empat tipologi Peter Burger yang dimulai dari Seni Sakral dan Seni Istana. Seni modern telah melepaskan diri dari institusi (gereja maupun istana), membangun wilayahnya sendiri dengan kedudukan seniman yang dianggap otonom.

Bagi estetika modernis perempuan tanpa baju (nude female) tidaklah sama dengan wanita bugil (naked woman). Lukisan Affandi adalah lukisan perempuan tanpa baju, perempuan dalam keadaan alamiah; tetapi pornografi adalah foto-foto wanita bugil atau setengah bugil, wanita yang mempertontonkan auratnya. Ketelanjangan yang diekspresikan lukisan Affandi bukan aspek seksual perempuan itu melainkan apa yang disimbolkannya (kesuburan, kelembutan, dan sebagainya); ketelanjangan yang diekspresikan pornografi adalah keperempuanan yang telah mendapat makna sosial sehari-hari (pembangkit gairah seks, komoditas yang bisa dijual, dan seterusnya). Estetika modernis membuat pagar pemisah antara yang disebut seni murni (high art) dari yang biasa-biasa atau sekadar seni pop.

Tantangan posmodern

Posmodern menolak pandangan estetika modernis itu. Posmo membongkar pagar pemisah seni tinggi dan seni pop, dan menganggap seni tidak bisa dipisahkan dari bidang-bidang kehidupan lain, ekonomi, politik, dan sosial. Apakah seni tinggi atau seni rendah, sama-sama merupakan bagian dari kecenderungan yang mendominasi kehidupan sosial.

Bagi posmodern tak masuk akal membedakan dua perempuan sama-sama terbuka auratnya, yang satu disebut perempuan dalam keadaan alamiah yang lainnya disebut wanita bugil, keduanya adalah perempuan telanjang sebagai obyek. Masalahnya bukan bahwa yang satu karya seniman yang lain bukan, melainkan bahwa perempuan-perempuan telanjang itu, sejak zaman klasik sampai ke mutakhir, ditampilkan sebagaimana lelaki ingin melihatnya. Gambar-gambar perempuan telanjang, apakah lukisan, patung, foto-foto, bagi posmo hanya menegaskan struktur masyarakat yang patriarkis. Taruhlah perempuan telanjang lukisan Affandi hendak menampilkan perempuan sebagai simbol kesuburan, tetapi siapa yang menentukan makna itu?

Karena itu bagi posmo, tak ada gunanya definisi seni, karena masalahnya bukan mendefinisikan apa itu seni, apa itu indah, melainkan siapa yang mengendalikan dan mendominasi kehidupan sosial kita. Yang terjadi selama ini adalah ideologisasi seni, dan dalam soal kontroversi pornografi masalahnya adalah eksploitasi dan marginalisasi perempuan. Ironisnya, para perempuan model itu ikut ambil bagian dalam proses penistaan martabatnya sendiri.

Seni atau bukan, bermutu atau tidaknya suatu karya, bagi posmo tidak ditentukan oleh suatu kriteria obyektif, melainkan oleh ideologi politik yang dominan. Kaum Marxis atau komunis akan membuat kriteria yang disebutnya realisme sosialis dengan semboyan seni untuk rakyat, yang lain barangkali memperjuangkan yang disebutnya humanisme universal dengan semboyan seni untuk seni. Semua aliran itu mengklaim kriterianya obyektif, tetapi sebenarnya tujuannya menyeragamkan ukuran saja.

Posmodern menolak penyeragaman. Bagi modernis kriteria estetik lebih diletakkan pada seniman, pada posmodern kriteria ada pada siapa saja. Memang kritik utama terhadap posmodern adalah relativismenya yang bahkan menjurus ke anarkisme.

Rambu etika dan justisia

Namun jelas sudah, baik estetika modernis maupun posmodern, sama-sama menolak pornografi, meski dengan alasan berbeda. Estetika modernis tegas menganggap pornografi bukan seni dan merekomendasikan agar pornografi ditiadakan atau dikontrol ketat karena secara sosial berbahaya. Estetika posmodern juga merekomendasikan pornografi dienyahkan, bukan karena pertimbangan seni atau bukan seni, melainkan karena mengeksploitasi keperempuanan sebagai komoditas, dan merendahkan martabat perempuan. Jadi pornografi tidak dapat dibela dari dalam teori estetika, lama maupun baru. Pornografi memang bukan masalah estetika, melainkan masalah etika.

Setiap masyarakat memiliki standar moralitas yang tanpa itu eksistensi masyarakat itu sendiri goyah atau bahkan berakhir. Moralitas pada dasarnya berfungsi melindungi baik dunia sosial bersama maupun dunia subyektif masing-masing individu. Tentu standar moralitas itu juga berkembang bersama perkembangan masyarakat pendukungnya. Potensi-potensi kreatif dalam masyarakat sewaktu-waktu akan tampil menawarkan alternatif, juga unsur-unsur luar akan ikut bertarung mendapatkan tempat berpijak dalam masyarakat.

Akan tetapi di pihak lain, masyarakat dan setiap anggotanya, berhak melindungi diri dan eksistensinya dari apa-apa yang dianggap immoral, baik yang sifatnya sekadar bertentangan dengan standar moralitas yang ada (seperti mempublikasikan gambar-gambar erotik dan pornografi), maupun yang dikhawatirkan dapat membawa konsekuensi fundamental terhadap tata-nilai dan tata-hubungan-sosial yang masih diakui (misalnya tuntutan melegalkan homoseksual, perkawinan sesama jenis). Realisasi hak itu adalah penggunaan institusi perangkat hukum yang ada oleh masyarakat. Inilah landasan moral pelarangan pornografi berikut ancaman sanksi hukumnya.

Dan justru karena merupakan masalah etika, pornografi tidak dapat berlindung di belakang kebebasan pers. Apa yang disebut kebebasan pers bukan kebebasan subyektif yang berkaitan dengan etika privat, melainkan kebebasan yang sifatnya politik berkaitan dengan etika sosial. Artinya, kebebasan pers tidak dapat dilepaskan dari keterikatannya pada ruang sosial bersama.

Kebebasan pers merupakan hak yang sifatnya korelatif, hak untuk terealisasinya hak lain, yaitu hak warga untuk mendapat informasi serta hak menyatakan pendapat dan mengontrol kekuasaan, kekuasaan negara atau pemerintah, tetapi juga kekuasaan masyarakat, termasuk kekuasaan pers sendiri. Jadi dasar legitimasi kebebasan pers konstruktif, tidak bisa destruktif. Adalah konstruktif, dan karenanya absah, apabila kebebasan pers digunakan membongkar kasus perkosaan, tetapi adalah destruktif apabila kebebasan pers itu digunakan menggambarkan secara sensasional bagaimana perkosaan itu berlangsung.

Kata seorang pemikir, dalam diri setiap kita bertemu konflik kehendak dan hierarki kehendak, dan moralitas dapat memberi petunjuk menentukan prioritas kehendak yang tidak konflik dengan tata-nilai yang masih diakui absah dalam dunia sosial bersama. Tetapi di tangan yang tak kompeten, kebebasan pers memang rawan penyalahgunaan. Karena itu, di samping rambu etik, yang prinsip positifnya sudah dirumuskan sendiri dalam yang disebut kode etik pers, kebebasan pers memerlukan juga kawalan rambu-rambu yustisia.


Sumber: http://www.kompas.com/kompas%2Dcetak/9908/11/opini/porn04.htm

Menjelajahi Sains Lewat Dunia Sosial

Menjelajahi Sains Lewat Dunia Sosial

"Yet we must… exhaust the resources of the concept of the experience before attaining and in order to attain, by deconstruction, its ultimate foundation. It is the only way to escape ’empiricism’ and the ’naïve’ critique of experience at the same time."

- Jacques Derrida, Of Grammatology

***

FEBRUARI 1661. Hawa musim dingin masih menyelimuti Kota London. The Royal Society yang baru berusia satu tahun sedang menerima kunjungan Duta Besar Kerajaan Denmark. Pertemuan dengan tamu agung ini bukanlah pertemuan biasa. Ada satu peristiwa menarik. Robert Boyle, salah satu pendiri organisasi ilmuwan bergengsi ini, mendemonstrasikan sebuah pompa udara hasil kerja selama beberapa tahun bersama Robert Hooke di Oxford. Machina Boyleana itu terdiri dari sebuah bola kaca yang berisi udara yang disambungkan pada sebuah pompa di bagian bawah. Ketika pompa itu ditarik, bola kaca tersebut menjadi ruang hampa udara. Para tamu yang hadir terkesima. Mereka menjadi saksi kemenangan Boyle atas tesis Thomas Hobbes yang mengatakan bahwa udara tidak akan meninggalkan bola kaca. Melalui pompa udara ini, Boyle dapat membuktikan bahwa volume dari sebuah tabung berbanding terbalik dengan tekanan yang ada di dalamnya. Hukum Boyle lahir dari pompa ini.

POMPA udara Boyle adalah mesin yang memproduksi fakta dan menguji keabsahan suatu pengetahuan. Bagi Boyle, fakta ilmiah hanya dapat lahir dari eksperimen yang dilakukan secara empiris. Di sinilah tonggak awal sains modern dimulai. Eksperimen menjadi bagian signifikan dalam epistemologi sains. Eksperimen adalah ruang di mana fakta ilmiah "ditemukan". Dalam sains, fakta ilmiah bersifat self-explanatory, dalam arti dia menjelaskan dirinya sendiri. Saintis "hanyalah" pengamat yang menjadi modest witness atau saksi jujur bagaimana fakta tersebut dimunculkan melalui suatu konfigurasi teknis material. Klaim obyektivisme menuntut saintis untuk berada di wilayah yang terpisah dari fakta yang diamatinya.

Apakah suatu obyek pengetahuan bersifat self-explanatory? Di manakah sebenarnya posisi ontologis manusia dalam proses produksi pengetahuan dalam sains? Sejauh manakah klaim atas obyektivitas sains dapat dijadikan pegangan? Apakah sains merupakan suatu ruang vakum yang lepas sama sekali dari segala bentuk imajinasi manusia? Pertanyaan-pertanyaan besar inilah yang menjadi landasan dan motivasi bagi studi sains kontemporer dalam memahami relasi antara manusia dan ilmu pengetahuan yang dihasilkannya.

Bagi para sarjana studi sains (science studies), sains adalah produk sosial. Dia diproduksi melalui mekanisme interaksi dan negosiasi yang terbentuk dari suatu sistem sosial yang sarat dengan bentukan-bentukan imajinatif, seperti nilai, makna, cara pandang, ideologi, dan kepercayaan. Memahami sains melalui dimensi sosial secara epistemologis menarik sekaligus menantang. Menarik karena sains adalah karya manusia, di mana manusia itu sendiri adalah spesies yang tidak pernah lepas dari dunia sosial. Menantang karena pengetahuan ilmiah selama ini dipahami sebagai hasil murni kemampuan logika manusia yang lepas dari faktor sosial.



Generasi awal

Berkembangnya sains modern di Eropa yang dipicu oleh semangat Enlightenment telah menjadi perhatian banyak pemikir sosial abad ke-19. Dalam catatan Sal Restivo, sains telah menjadi salah satu kajian dalam karya Karl Marx. Bagi Marx, tidak hanya material dan bahasa yang digunakan para saintis dalam mengamati fenomena alam adalah produk sosial, keberadaan para saintis juga merupakan suatu fenomena sosial. Beberapa kontribusi terpenting Marx dalam studi sains antara lain pemahaman relasi antara praktik matematika dan sistem produksi. Bagi Marx, sains adalah produk kaum borjuis. Karena itu, apa yang dilakukan Marx dalam memahami sains berlanjut pada agenda politik untuk melakukan perubahan fundamental dalam sains modern. Pada titik ini, dalam analisis Restivo, Marx bersikap inkonsisten. Pada satu sisi dia mengkritik sains sebagai alat eksploitasi kaum pemilik modal, tetapi di sisi lain dia mendukung penggunaan sains bagi tujuan-tujuan politik kaum proletar.

Cikal bakal studi sains dibentuk oleh Emile Durkheim dan Max Weber. Seperti Marx, keduanya memahami sains dari sudut pandang sosiologis. Bagi Durkheim, konsep-konsep ilmiah yang dihasilkan dalam sains memiliki status representasi dan elaborasi kolektif. Weber sendiri memberi perhatian serius pada keterkaitan antara kapitalisme, Protestanisme, dan sains modern. Pemikiran Weber dan Durkheim memberi jalan bagi terbentuknya sosiologi sains sebagai suatu disiplin dalam tradisi akademik di Eropa Barat dan Amerika Utara.



Mertonian vs Kuhnian

Munculnya sosiologi sains sebagai suatu disiplin pada awal abad ke-20 banyak dipengaruhi oleh pemikiran Max Weber. Robert Merton adalah sosok sentral dalam bidang ini dan dapat disebut sebagai bapak sosiologi sains. Merton menyelesaikan studinya di Harvard pada tahun 1934 dengan disertasi yang menjadi buku berjudul The Sociology of Science. Buku ini menjelaskan relasi antara sains dan institusi sosial di mana sains itu berada. Tesis Merton mengatakan bahwa sains modern hanya dapat tumbuh dan berkembang dalam kondisi sosiokultural tertentu.

Hingga dekade 1970-an, paradigma Mertonian mendominasi perkembangan sosiologi sains. Gagasan besar dalam sosiologi sains Mertonian dapat dirangkum dalam norma sains (norms of science) yang terdiri atas empat nilai fundamental yang membentuk etos sains.

Pertama universalisme, yakni kepercayaan bahwa klaim kebenaran lepas dari kriteria personal seperti ras, kebangsaan, atau agama. Kedua komunisme (bukan dalam makna ideologi), yakni setiap penemuan dalam sains menjadi milik bersama dalam komunitas sains tersebut. Ketiga ketiadaan kepentingan, yakni pengetahuan bersifat bebas nilai dan kepentingan. Keempat skeptisisme yang terorganisasi, yakni bahwa perkembangan pengetahuan muncul dari sikap skeptis kolektif para saintis terhadap setiap pemahaman atas fenomena alam.

Sosiologi sains Mertonian berlandaskan pada satu asumsi bahwa sifat dan perkembangan sains ditentukan oleh faktor sosial dan faktor imanen. Yang dimaksud dengan faktor imanen adalah perkembangan logika dalam sains (inner logic). Dari sini kita bisa melihat bahwa dalam sosiologi sains Mertonian, pengetahuan ilmiah masih lepas dari analisis sosial. Belakangan norma sains Mertonian mendapat kritik tajam karena keempat norma tersebut tidak lebih dari representasi ideologi sains itu sendiri.

Pada tahun 1962, Thomas Kuhn, seorang fisikawan yang kemudian berkarier sebagai sejarawan sains, menerbitkan The Structure of Scientific Revolution. Lewat buku ini Kuhn melontarkan istilah paradigma yang mengacu pada cara pandang kelompok ilmiah tertentu terhadap suatu fenomena. Walaupun tidak memiliki latar belakang sosiologi, karya Kuhn memberi kontribusi penting dalam sosiologi sains. Kuhn memberi penjelasan alternatif terhadap apa yang dilakukan Merton selama beberapa dekade sebelumnya. Karena itu, paradigma Kuhnian sering diasosiasikan sebagai anti-Mertonian.

Karya Kuhn menarik banyak orang karena dia menggunakan model politik dalam menjelaskan perkembangan sains. Kuhn memakai istilah revolusi untuk menggambarkan proses invensi dalam sains dan memberi penekanan serius pada aspek wacana ilmiah. Bagi Kuhn, revolusi ilmiah dan revolusi politik memiliki karakter yang sama. Keduanya terbentuk dari persepsi yang ada di masyarakat bahwa institusi di mana mereka berada sudah tidak bekerja dengan baik. Persepsi ini lalu menstimulus lahirnya krisis yang menuju pada revolusi dengan tujuan perubahan institusional.

Orientasi anti-Mertonian bagaimanapun tidak menjadikan Kuhn sepenuhnya bertolak belakang dengan Merton. Kuhn masih menerima penjelasan Merton tentang norma sains. Walaupun telah memicu perubahan dalam pemahaman sains, Kuhn sendiri tidak lepas dari kritikan. Studi empiris yang dilakukan Sal Restivo dan Randal Collins tentang paradigma sains Kuhnian menyimpulkan bahwa pola perubahan dalam sains secara substansial berbeda dengan apa yang dilontarkan oleh Kuhn. Model Kuhnian juga dikritik karena mengacu pada revolusi sistem politik modern yang semata-mata terjadi melalui sirkulasi kaum elite.



Genre konstruktivisme

Jika Max Weber membuka jalan bagi terbentuknya disiplin sosiologi sains, khususnya paradigma Mertonian, pemikiran Emile Durkheim tentang representasi kolektif memberi inspirasi bagi gerakan sosiologi sains pasca-Mertonian atau yang disebut sebagai the new sociology of science. Sosiologi sains baru tidak hanya mengkaji aspek institusional dalam sains, tetapi masuk ke dalam wilayah yang lebih dalam. Di sini pengetahuan ilmiah dijadikan obyek analisis sosial, sesuatu yang tidak dilakukan oleh Merton dan para muridnya. Karena itu, sosiologi sains baru sering diidentikkan dengan sosiologi pengetahuan ilmiah (sociology of scientific knowledge).

Ciri kuat dari sosiologi sains baru adalah penggunaan kerangka konstruktivisme. Konsep konstruktivisme sosial yang menjelaskan produksi pengetahuan ilmiah pertama kali digunakan Ludwik Fleck dalam bukunya, The Genesis and Development of a Scientific Fact. Buku ini pertama kali terbit pada tahun 1935 dalam bahasa Jerman. Setelah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris pada tahun 1979, barulah pemikiran Fleck mendapat perhatian serius dari para sarjana studi sains.

Fleck memperkenalkan konsep gaya berpikir (thought style) yang menyerupai konsep representasi kolektif Durkheimian. Gaya berpikir mengacu pada perilaku berpikir, asumsi kultural dan keilmuan, pendidikan dan pelatihan profesional, serta minat dan kesempatan, yang mana kesemuanya membentuk persepsi dan cara menghasilkan teori (theorizing).

Strong Programme adalah salah satu kubu studi sains yang kental dengan pendekatan konstruktivisme. Tokoh sentral Strong Programme adalah David Bloor. Bagi Bloor, sains tidaklah berkembang secara linier seperti yang dipahami secara luas. Sains berkembang membentuk cabang-cabang yang kompleks sesuai dengan heterogenitas dalam sistem sosial. Diterimanya suatu konsep ilmiah sebagai paradigma tunggal dalam memahami suatu fenomena tidak lain karena adanya faktor dan konteks sosial tertentu yang bekerja dalam proses penerimaan itu. Karena itu, pengetahuan dalam sains dapat berbeda mengikuti bentukan sosial.

Tokoh lain dalam gerakan sosiologi sains baru adalah Bruno Latour. Latour adalah salah satu penggagas actor-network theory (ANT) yang menjelaskan lahirnya suatu pengetahuan melalui relasi antara masyarakat (konstruktivisme sosial) dan alam (realisme). Dalam ANT, sosiolog sains memberikan perhatian tidak semata-mata pada manusia (actant), tapi juga pada benda dan obyek (non-actant) secara simetris. Bersama Steve Woolgar, Latour melakukan studi etnografi di laboratorium endocrinology Salk Institute.

Hasil studi ini menghasilkan Laboratory Life: The Social Construction of Scientific Facts. Dalam buku ini Latour dan Woolgar mengungkap budaya dalam laboratorium yang membentuk korespondensi antara kelompok peneliti sebagai suatu jaringan dengan seperangkat kepercayaan, perilaku, pengetahuan yang sistematis, eksperimen, dan keterampilan yang terkait satu sama lain secara kompleks. Menurut Latour dan Woolgar, dalam suatu laboratorium, kegiatan observasi bersifat lokal dan memiliki budaya spesifik.

Andrew Pickering patut disebut dalam khazanah sosiologi sains baru. Dalam Constructing Quarks, Pickering yang memiliki latar belakang fisika teori menjelaskan secara sosiologis lahirnya konsep quark. Bagi kalangan fisikawan, quark lahir dari bukti empirik yang didapatkan melalui eksperimen. Eksperimen itu sendiri dapat dipahami secara sempurna karena bekerja dalam suatu sistem yang tertutup (closed system).

Permasalahannya, menurut Pickering, eksperimen bukanlah suatu sistem yang tertutup. Dia sangat tergantung pada teori yang menjadi landasannya. Di lain pihak, pemilihan teori sebagai raison d’etre suatu eksperimen tergantung dari penilaian (judgment) para saintis. Pada titik inilah praktik sains dibangun melalui tiga elemen yang saling mempengaruhi satu sama lain, yakni eksperimen, teori, dan penilaian. Karena itu, menurut Pickering, realitas quark adalah hasil dari praktik fisika partikel, bukan sebaliknya. Konsep quark lahir dari proses penilaian dan pemilihan teori dan tidak muncul begitu saja dari serangkaian eksperimen.

Kerangka konstruktivisme dalam studi sains telah memicu konflik intelektual antara para saintis dan para sarjana studi sains. Penjelasan konstruktivisme sosial dianggap ancaman terhadap integritas, legitimasi, dan otonomi sains. Konstruktivisme, yang sering diasosiasikan sebagai relativisme, dianggap menafikan apa yang telah dicapai sains dalam memahami fenomena alam. Tetapi, seperti yang dijelaskan oleh Restivo, para konstruktivis dalam studi sains bukanlah antirealisme. Tidak sedikit dari mereka yang mempertahankan metode dan cara pandang dalam sains. Sebagai contoh adalah Strong Programme yang secara epistemologis menggabungkan metode sains dan sosiologi dalam memahami sains sebagai konstruksi sosial. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Bloor sendiri bahwa hanya dengan metode sains, para sosiolog dapat memahami sains. Kasus Latour juga tak kalah menarik. Dalam edisi kedua Laboratory Life, kata social dalam subjudul dihilangkan. Tidak lama setelah itu tuduhan sebagai "pengkhianat" konstruktivisme ditujukan kepada Latour. Belakangan Latour sendiri menolak untuk disebut sebagai konstruktivis. Bagi Latour, sains adalah media untuk memahami masyarakat, bukan sebaliknya.



Sains dan budaya

Memasuki dekade tahun 1990-an, studi sains menjadi lebih semarak dengan bergabungnya para antropolog dalam tradisi intelektual ini. Selama lebih dari satu dekade terakhir, para sarjana studi sains dari disiplin ini memberi kontribusi dalam memahami bagaimana pengetahuan dalam sains diproduksi melalui proses pemaknaan dan praktik budaya.

Pemahaman budaya dalam sains dijelaskan oleh Timothy Lenoir. Lenoir berargumen bahwa pengetahuan adalah hasil interpretasi di mana obyek pengetahuan dan pengamat (interpreter) tidak berdiri secara terpisah satu sama lainnya. Aktivitas interpretasi adalah praktik budaya yang melibatkan faktor kognitif dan faktor sosial yang saling berimplikasi satu sama lain. Kedua faktor ini senantiasa melekat pada para pelaku produksi pengetahuan (saintis). Dengan pemahaman sains sebagai praktik budaya, Lenoir menolak klaim Merton tentang universalisme dan disinterestedness dalam sains karena pengetahuan selalu bersifat lokal, parsial, dan dilandasi kepentingan.

Secara antropologis, sistem pengetahuan terbentuk dari upaya manusia untuk bertahan hidup melalui pemahaman regularitas yang terjadi di alam. Sandra Harding mengidentifikasi empat jenis elemen budaya yang membentuk inti kognitif dari sistem pengetahuan. Pertama, karena alam tidak bersifat seragam (uniformly organized), regularitas alam yang berbeda yang dialami oleh sistem kebudayaan yang berbeda lokasi akan menghasilkan sistem pengetahuan yang berbeda pula. Kedua, bentuk kepentingan sosial berbeda dalam setiap sistem budaya. Karena itu, setiap sistem budaya menghasilkan perbedaan dalam pola pengetahuan. Ketiga, sistem budaya membentuk wacana dalam proses produksi pengetahuan yang selanjutnya mempengaruhi cara pandang dan pola intervensi masyarakat dalam sistem budaya tersebut. Terakhir, bentuk-bentuk organisasi sosial dalam penelitian ilmiah yang berbeda secara kultural akan mempengaruhi isi dari sistem pengetahuan.

Catatan Harding di atas mengindikasikan bahwa sains dikonstruksi melalui budaya. Artinya, wacana sistem pengetahuan tidak pernah lepas dari konteks budaya di mana sistem pengetahuan tersebut berada. Studi Pamela Asquith dapat dijadikan satu contoh menarik. Asquith melakukan studi komparasi kultural dan intelektual antara primatologi Barat (Eropa dan Amerika) dan primatologi Jepang. Asquith mencari heterogenitas dalam sains dengan membandingkan cara pandang, bentuk pertanyaan, dan metode penelitian primatologi di kedua sistem budaya tersebut. Dari studi ini, Asquith mengamati satu hal yang menarik. Dalam pandangan Kristen yang mempengaruhi para primatologis Barat, hanya manusia yang memiliki jiwa. Pandangan ini "menghalangi" primatologis Barat untuk melihat kualitas mental yang membentuk perilaku sosial primata yang kompleks. Sebaliknya, sistem kepercayaan masyarakat Jepang mempercayai bahwa setiap hewan memiliki jiwa. Hal ini membuat primatologis Jepang memberi perhatian serius pada atribut motivasi, perasaan, dan personalitas yang ditunjukkan oleh hewan primata yang mereka amati. Perbedaan sistem kepercayaan tentang posisi manusia di dunia ini menjadikan pengetahuan yang dihasilkan oleh primatologis Barat berbeda dengan rekan sejawatnya di Jepang. Primatologi Barat cenderung bersifat fisiologis, sementara primatologi Jepang lebih bersifat sosiologis dan antropormorfis. Perbedaan ini berdampak pada perbedaan pengetahuan yang dihasilkan dalam kedua tradisi primatologi tersebut walaupun mereka mengamati obyek yang sejenis.

Studi komparasi kultural juga dilakukan Sharon Traweek yang membandingkan praktik fisika energi tinggi di Amerika Serikat dan Jepang. Jika Asquith mencari pengaruh budaya terhadap bentuk pengetahuan, Traweek mengamati bagaimana nilai budaya direpresentasikan melalui model organisasi sains. Pada studi ini, Traweek melihat nilai individualisme dan persaingan yang melandasi sistem organisasi riset Amerika. Adapun di Jepang, nilai-nilai komunalisme dan kerja sama sangat dominan. Perbedaan dalam nilai budaya ini terefleksi dalam banyak hal yang mencakup proses pembelajaran dan pengajaran, organisasi laboratorium dan kelompok, gaya kepemimpinan, dan proses pengambilan keputusan. Walaupun Traweek tidak menjelaskan apakah perbedaan nilai budaya ini mempengaruhi pengetahuan yang dihasilkan, setidaknya studi Traweek menunjukkan bahwa nilai budaya melekat erat pada sistem organisasi ilmiah.

Jika Asquith dan Traweek mengamati praktik sains dalam dua sistem budaya, Karen Knorr-Cetina membandingkan dua praktik sains modern, yaitu fisika partikel dan biologi molekuler. Knorr-Cetina mengamati bagaimana fragmentasi dan diversitas dalam sains modern membentuk dua budaya pengetahuan (epistemic culture) yang berbeda dalam aspek cara mengetahui (machineries of knowing). Dari hasil studinya selama beberapa tahun di laboratorium-laboratorium di Eropa dan Amerika Utara, Knorr-Cetina mengungkap perbedaan struktur simbolik dari kedua bidang ilmiah tersebut. Struktur simbolik ini terepresentasi melalui cara pendefinisian entitas, sistem klasifikasi, dan cara di mana strategi epistemik, prosedur empirik, dan strategi sosial dipahami. Analisis ini menghasilkan pemahaman bahwa dalam proses produksi pengetahuan, proses tanda, pengerjaan eksperimen, relasi antara waktu dan ruang, dan relasi antara tubuh dan mesin secara kultural berbeda antara praktik fisika partikel dan biologi molekuler. Melalui studi komparasi silang disiplin ini, Knorr-Cetina mengatakan bahwa sains modern tidaklah menyatu seperti yang diklaim kaum positivis.



Sains dan studi sains

Konsep dan teori yang dikembangkan dalam studi sains berangkat dari pemahaman sains sebagai institusi sosial dan pengetahuan ilmiah sebagai produk sosial. Melalui pemahaman ini, studi sains membuka suatu jendela baru di mana kita bisa memandang perkembangan sains dari perspektif yang lebih luas. Dalam perspektif ini, sains tidak lagi muncul sebagai suatu entitas yang integratif, rigid, dan berkembang secara linier, melainkan bagai suatu tanaman bercabang-cabang yang tumbuh di atas tanah sosial.

Pemahaman sains melalui dimensi sosial yang ditawarkan studi sains berdampak pada demistifikasi sains secara institusional ataupun epistemologikal. Ini merupakan implikasi politis yang tidak dapat dihindari. Ketergantungan masyarakat kontemporer terhadap sains telah menempatkan sains pada posisi sakral dan bersifat ideologis. Mistifikasi sains yang begitu kental dalam masyarakat ini memungkinkan praktik hegemoni kekuasaan dan kepentingan bersembunyi dengan rapi di balik jargon-jargon ilmiah. Tanpa menafikan apa yang telah dihasilkan sains bagi umat manusia, studi sains memberi penyadaran kepada diri kita bahwa sains adalah hasil karya manusia dalam berinteraksi dengan alam. Sains bukanlah sekumpulan ayat-ayat suci yang turun dari langit. Pengetahuan ilmiah adalah wujud kreativitas dan imajinasi manusia dalam memahami ruang dan waktu di mana dia berada. Pemahaman dimensi sosial sains dapat menjadi lensa untuk melihat bahwa pengetahuan tidaklah tunggal dan monolitik. Kepercayaan bahwa hanya ada satu cara melihat alam justru melawan hakikat manusia sebagai makhluk multikultural.

Lalu, apakah studi sains menawarkan relativisme? Donna Haraway memberi jawaban menarik. Haraway menolak relativisme sekaligus universalisme yang diklaim para saintis. Haraway berargumen bahwa obyektivitas dalam sains tidaklah tunggal. Karena itu Haraway menawarkan praktik difraksi, di mana obyektivitas dan realisme agensi dalam produksi pengetahuan memiliki posisi yang sama pentingnya. Ini yang disebut Ron Eglash sebagai obyektivitas ganda (multiple objectivity). Haraway mengajak kita untuk menggunakan domain budaya lain dalam sains yang selama ini termarginalisasi oleh dominasi narasi budaya Barat. Hawaray menginginkan adanya suatu budaya sains yang lebih kompleks dan beragam tanpa harus menjadi antirealisme.

Selama beberapa dekade, studi sains telah memberi kontribusi pada pemahaman yang lebih komprehensif tentang sains dan relasinya dengan masyarakat. Lepas dari konflik antara para saintis dan sarjana studi sains dalam episode Science Wars, apa yang dihasilkan dalam studi sains sedikit banyak telah mempengaruhi perjalanan sains secara dinamis. Sebaliknya, sains pun telah memberi banyak kontribusi bagi studi sains untuk tumbuh dan berkembang sebagai suatu disiplin. Karena tanpa sains, studi sains tidak berarti apa-apa.


Sumber: Kompas Cyber Media